1. d u a g a r i s

1K 34 2
                                    

Hari sudah nyaris pukul tujuh ketika Dhira keluar dari toilet yang ada di kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari sudah nyaris pukul tujuh ketika Dhira keluar dari toilet yang ada di kamarnya. Matahari sudah memamerkan eksistensinya, membuat seberkas cahaya hangat memaksa masuk lewat kisi-kisi kamar. Ugh, andai ruangan persegi itu masih layak disebut kamar tidur. Saking berantakannya tempat tersebut.

Sepertinya tidak perlu menjelaskan seberantakan apa kamar seorang Andhira Dineschara, karena gadis itu sendiri tidak berminat. Badannya terlalu lemas. Pun sudah mepet jam masuk sekolah. Jadi dengan terseok, Dhira menghampiri meja belajar. Berniat mengambil tas dan segera ke sekolah. Tetapi sesuatu yang bergejolak hebat dalam perut, membuat gadis bersurai hitam itu melesat secepat kilat kembali ke kamar mandi--untuk yang entah keberapa kali sepanjang dia bangun subuh tadi.

Dhira menunduk di wastafel untuk mengeluarkan apa pun yang mendesak keluar. Tapi sialnya, hanya sebentuk lendir putih yang termuntahkan. Tidak sebanding dengan tsunami dadakan yang terjadi di kedalaman perutnya.

Merasa tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan, Dhira pun kumur-kumur dan membasuh wajah. Setelahnya gadis itu terduduk lemas di atas kloset dengan tangan terangkat memijat kepala. Pening sekali rasanya.

Entah kenapa pula dia pagi ini. Bangun-bangun langsung muntah dan sibuk keluar masuk kamar mandi. Padahal seingatnya, Dhira tidak makan yang aneh-aneh semalam. Apa mungkin saja masuk angin? Tapi sepanjang sejarah Dhira keluyuran malam dan tidur hanya denga tank top serta hotspant, tidak pernah Dhira diserang yang namanya masuk angin. Atau, baru sekarang tubuhnya protes?

Bisa jadi.

Dhira menghela napas panjang. Mencoba menenangkan dirinya dari rasa tidak nyaman ini.

Namun, detik berikutnya sesuatu melintas seenaknya di kepala Dhira. Membuat tubuh lemas gadis itu menegang seakan baru disentrum listrik jutaan volt. Memikirkan itu, sukses membuat Dhira tidak berani melihat cermin karena yakin, wajahnya sudah sepucat mayat. Tubuhnya menggigil untuk sebuah alasan. Sebuah alasan yang membuat gadis kuyu itu memaksa bangkit, menjeblak pintu kamar mandi. Menyambar ponsel dari nakas dan membuka menu kalender.

Persetan dengan sekolah. Dhira sangat yakin sudah terlambat. Keadaannya yang mengenaskan seperti ini pun tidak memungkinkan ia bawa bertemu manusia. Takut dikira zombie. Dan, di luar itu semua, ada yang jauh lebih penting untuk Dhira urusi.

Ah, jika ada yang bertanya apa tidak akan ada yang menggedor-gedor kamar sembari mengomeli Dhira seperti anak-anak di luaran sana, maka jawabannya tidak. Tidak ada yang mengomel. Bagaimana bisa jika yang ada di rumah besar itu hanya dirinya sendiri?

Dhira mengela napas kasar dan menepis segala macam pikiran tidak penting. Tangan gadis itu bergetar saat menggulir layar ponsel. Matanya bergerak liar memindai tanggal demi tanggal di bulan ini, berlanjut bulan kemarin. Sementara kepalanya terus bekerja. Menghitung. Merangkai ingatan demi ingatan.

Dan, badai itu pada akhirnya menerjang Dhira. Tanpa ampun. Tanpa kasihan.

"Nggak," lirih Dhira. Tatapannya berubah kosong. Sedangkan kepalanya menggeleng dramatis. "Nggak mungkin."

I'm (not) FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang