reka yang tak diinginkan

118 23 0
                                    

Bagian 6 ||
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
- r a p u h -

            “HUJAN.”

            Luda mendengkus. “Semua orang juga tau ini lagi hujan.”

            Juyeon mencibir. Mengeratkan jaket yang melekat pada tubuh agar tetap hangat. Latihan basket hari ini dibatalkan, jadi di sinilah ia sekarang, menemai Luda menikmati makanan yang gadis itu sukai.

            “Duduk yang bener dong!” Luda memukul punggung Juyeon cukup keras, sesaat laki-laki itu hampir terjatuh dari kursi. “Cepet pesen makan deh sana. Lapar, kan?”

            Lapar.

            Sudut kiri bibir Juyeon tertarik ke atas. Sudah sebulan lalu sejak mereka tidak bertemu. Ngomong-ngomong apa kabar dengan Bona yang tidak pernah Juyeon lihat dari garis edar pandangnya lagi? Kepalanya Juyeon anggukan mendengar waitress membaca ulang pesanan yang ia pesan.

            Waffle is the great dessert, right? Juyeon pikir juga itu makanan tercocok untuk menikmati hujan di sore hari.

            “Terus, kamu kapan jadinya berangkat?”

            Luda membersihkan sudut bibirnya yang dibantu oleh Juyeon, berpikir. “Minggu depan,” balasnya. “Jangan kangen ya!”

            “Geli banget.” Juyeon terkekeh dibalas pukulan berulang di pundak.

            Minggu depan Luda berangkat ke Milan untuk melanjutkan studinya. Berarti tugas Juyeon untuk menjaga Luda sebentar lagi akan selesai. Ditatap lekat wajah yang tidak pernah bosan-bosannya Juyeon pandangi.

            “I miss you already, sih, ini kayaknya.”

            Luda tergelak. “Kan!” serunya. “Jangan nangis ih!” Luda berucap lirih mendapati mata Juyeon sudah berkaca-kaca. Ah, how precious this boy. Luda benar-benar tidak akan pernah melupakan sosok yang selalu menjaga dan menemaninya ini.

            “Jangan teriak-teriak ngomongnya,” bisik Juyeon menyeka kasar wajah.

            Luda mengangguk. Jadi, mereka melanjutkan pembicaraan dengan kepala saling bersisian dan mulut berbisik, sesekali tertawa membuat kepala terhantam, lalu melanjutkan obrolan.

            Dan kini, helm yang Luda gunakan Juyeon lepaskan perlahan. Merapikan helai rambut cokelat itu bersama ucapan-ucapan ringan yang tentu saja akan Luda lakukan setelah memasuki rumah.

            “Pulang, jangan main lagi.”

            “Iyaa, tapi mau mampir bentar ke tempat Dayoung.”

            “Ish!” Luda memberikan tatapan tak suka. Jika memang laki-laki itu akan mampir ke tempat lain, mengapa tidak sekalian saja. Kenapa harus mengantarnya pulang terlebih dahulu? Kan jadi dua kali! Luda benar-benar tak habis pikir. Pikiran Juyeon kadang tidak pernah bisa Luda selami.

            “Hati-hati, kabarin orang rumah dulu. Aku gak mau ya ada inspeksi mendadak dari kakak-kakak kamu!”

            Juyeon menyimpan tangannya di sisi kanan kepala, hormat. “Siap, Ibu Bos!” serunya, lalu mengacak puncak kepala Luda. Menyalakan kembali motornya yang melaju cepat di jalanan basah menuju lingkungan apartemen bertingkat milik temannya.

            Helm di tangan Juyeon putar-putar menunggu elevator bergerak naik menuju lantai yang akan ia tuju. Perihal helm di tangan, sebab helm-helm miliknya dahulu selalu hilang, maka laki-laki itu selalu membawanya setiap kali mampir ke tempat teman sekelasnya.

            “Udah di depan ini. Buru buka pintunya.” Juyeon berujar di telepon, belok menuju lorong tempat bernomor 608 paling pojok. Sampai teriakan dan seseorang yang keluar dari pintu dengan pakaian terkoyak dan tubuh gemetar menggelapkan mata Juyeon untuk menghantam kepala si laki-laki yang mencoba menarik si perempuan masuk kembali.

            “Bangsat!”

- r a p u h -
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
––to be continued––

.

.

rapuh, eunbo. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang