dalam kejujuran kilas balik

85 18 1
                                    

Bagian 18 ||
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
- r a p u h -

            DINGINNYA cuaca membawa Juyeon meraih selimut untuk menjaga tubuh Bona agar tetap hangat. Sama seperti sebelumnya, ia akan menemani Bona dalam keheningan si perempuan. Mengisi kekosongan malam dengan dua tubuh saling menghadap satu sama lain, walau pikiran serta pandangan pada tempat berbeda.

            “Lo mau gue buatin susu ngga, Kak?” Ibu jari Juyeon bergerak mengusap dahi Bona begitu melihat kerutan di sana.

            “Teh atau apa gitu?” lanjutnya, mencoba mengalihkan Bona dari pikiran yang akan membuat diri lebih terluka.

            “Atau lo mau makan? Mau makan apa? Gue beliin.”

            Dan Bona akan menggeleng untuk ketiganya. Seperti biasa.

            Lalu, Juyeon menarik napas.

            Di jam yang masih awal untuk tidur, ia sudah menguap dalam hitungan detik, berkali-kali. Hanya duduk termenung membuat diri lelah tak karuan. Dilirik kembali Bona bersama dunia si wanita. “Kalo bisa, gue pengen tau apa yang lagi lo pikirin atau rasain,” bisiknya sepelan mungkin, tidak menginginkan Bona untuk mendengar. Tangannya kemudian bergerak memainkan ujung rambut Bona yang Juyeon tarik berulang kali, gemas.

            “Feel safe?”

            Karamel hangat itu mengerjap. Kepalanya yang tadi menghadap keluar, kini mendongak melihat ke arah Juyeon yang duduk di hadapan. Cahaya bulan dari luar menerangi sebagian wajah si lelaki dari gelap kamar. Ada begitu banyak ucapan yang ingin Bona berikan pada Juyeon.

            “Aman,” balasnya. “Tapi gak bener-bener tenang.”

            Bayangan dari orang-orang yang menghakimi tumpah meruah tanpa bisa dikendalikan. Sorot penuh kekecewaan dari orang tuanya, sorot tidak percaya dari orang sekitar, juga sorot seakan diri adalah sampah dari orang-orang yang melihat video tersebut.

            Bahu Juyeon bergerak seiring tarikan napas yang laki-laki itu ambil, mendengar dalam diam mengenai ketakutan-ketakutan yang Bona ungkapkan. Lagi-lagi air mata itu tumpah meresap kilas balik yang coba ditutupi dari banyak orang. Menceritakan segala hal yang terjadi, dimulai dari mana kekacauan terbentuk.

            “Gue juga gak mau di posisi gini. Gak mau,” lirihnya.

            “I tried to escaped, but I couldn’t.”

            “Gue udah terlalu rusak ya buat diperbaiki?”

            Tidak. Tentu saja tidak.

            “You’re not, Kim Bona,” balasnya serak. Juyeon menarik Bona dalam pelukan, membuat suara perempuan itu teredam seiring isak tangis mengencang. Usapan lembut Juyeon berikan pada belakang kepala Bona, berusaha menenangkan Bona yang belum menghentikan tangisnya.

            Semua bagi Bona tidaklah mudah, Juyeon tahu. Mencoba lepas dan berjuang sendiri sebab kesalahan yang ia bentuk sendiri tentulah sulit. 

            Juyeon mengembuskan napasnya yang terasa berat. Dadanya terasa sesak menyaksikan Bona harus seperti ini lagi. Hingga tanpa sadar ia ikut menangis bersama si perempuan dalam pelukan seraya berusaha mengalihkan pikiran Bona dari deritanya. Berbicara segala hal bertujuan agar pikiran Bona teralihkan. Mengisi kepala Bona dengan hal-hal baik untuk diingat, selain kenangan menyakitkan yang kini terpatri di kepala.

            Semua terbuka malam itu. Bagaimana derita Bona di mulai, Juyeon ketahui dalam malam-malam seperti biasa. Usapan masih Juyeon berikan pada Bona dalam pelukannya. Tangannya melingkupi tubuh Bona dengan si perempuan tenggelam di sana.

            Kemudian, tubuh terlelap setelah lelah menangis Juyeon rebahkan begitu hati-hati. Selimut yang menggulung di tubuh Bona, Juyeon rapikan. Lalu, mengambil selimut lain dari lemari.

            “Semua atas dasar persetujuan gue, awalnya. For some make out, having sex, until ... the abortion. Gue gak mau kecolongan sampai bisa hamil actually. Tapi, tanpa disadari, I did it cause some shit stupid thing!”

            Tangan Juyeon merapikan rambut Bona yang berantakan. Dalam hening mengamati wajah pulas Bona yang jejak air matanya masih tampak begitu jelas.

            “Dan seperti yang lo bisa prediksi, hubungan kita makin gak sehat. Tapi bodohnya, gue masih mewajarkan semuanya. Sampai Juyeon punya fantasi baru buat ngerekam itu semua.”

            Tangan Juyeon turun ke bawah untuk merengkuh tangan kecil yang rasanya jika ia remas akan patah seperti rapuhnya pemilik tubuh.

            “And again, how stupid I am. Gue percaya aja waktu dia bilang itu buat koleksi pribadi.”

            Juyeon menjatuhkan kepalanya pada tangan Bona. Dadanya terasa sesak, hingga tenggorokan tercekat sakit.

            “Lama kelamaan keseringan. And I can never escaped from him, Juyeon yang pegang kendali. Dan gue gak akan pernah bisa lepas dari dia. Gue gak bisa apa-apa dan hubungan kita makin toxic ... makin parah ... makin ancur.”

            Terlalu hancur. Terlalu menyakitkan.

            “Gue terlalu rusak, ya? Rusak banget pasti.”

            “Harusnya lo gak deket-deket sama gue. Barang rusak bisa nyakitin lo ke depannya.”

            Juyeon meremat kedua tangannya yang dipenuhi segala bentuk emosi.

            “Lo bakal bebas, Kak. Sebentar lagi. Lo gak akan balik sama dia lagi. Gue bakal pastiin. Jadi, tolong bertahan.”

            Yang seharusnya Juyeon menambahkan bahwa mereka akan bertahan bersama Bona. Seharusnya ia mengatakan hal tersebut, agar Bona tidak merasa bahwa ia sendirian. Bahwa Bona tidak akan berpikir untuk mengiris pergelangan tangannya, hingga garis yang berada di elektrokardiogram itu bisa menjadi garis lurus nyata adanya.

- r a p u h -
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
––to be continued––

.

.

rapuh, eunbo. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang