dan kini jatuh semakin dalam

89 17 2
                                    

Bagian 17 ||
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
- r a p u h -

            JUYEON mencoba mengatur napasnya yang kian tak beraturan sebab menahan emosi yang memaksa untuk dikeluarkan. Tangannya terus mengepal sepanjang waktu sebagai tumpuan segala amarah karena hal yang dilakukan sosok makhluk bajingan itu. Karenanya, Bona melakukan tindakan menyakiti diri. Karenanya, mereka semua hampir kehilangan Bona.

            Wajah tegang Juyeon tidak hilang, meski Bona berhasil ditangani oleh paramedis dan sedang beristirahat dalam brankar rumah sakit di suatu ruangan. Nyatanya, kehebohan dalam ruangan tersebut menyesakkan diri. Juyeon tidak sanggup lagi berpikir jernih. Ia akan menghabisi Lee Juyeon dengan tangannya sendiri sekarang.

            Perihal diri yang akan digugat nanti tidak Juyeon pikirkan. Laki-laki itu bergerak maju, membawa mobilnya yang berbau amis menuju kediaman si berengsek. Dalam pikir, hal-hal yang akan Juyeon lakukan tergambar jelas. Belokan kasar Juyeon lakukan dalam menyelip mobil di depan, tidak memedulikan bunyi klakson dari kendaraan lain dan teriakan pengemudi yang menyumpahi.

            Pun, tubuh yang menabrak sosok lain tidak sedikit pun Juyeon hiraukan. Mengabaikan dengan jelas teriakan di sana. Sorot tajam Juyeon berikan pada pintu berbahan besi di hadapan. Gedoran kencang berulang laki-laki itu berikan. Terus berulang mengakibatkan sebagian orang keluar meminta berhenti.

            “Keluar!”

            “Keluar, Sialan!”

            “Kim Bona hampir mati gara-gara lo, Anjing!” rintihnya berbisik.

            “Keluar!”

            “Keluar Lee Juyeon sialan!”

            Pintu itu terbuka. Dan Juyeon segera mendorong kasar tubuh Lee Juyeon ke dalam. Tangannya begitu cepat mencekik leher dari laki-laki yang sudah merusak hidup satu orang. Bayangan mengenai bagaimana ia berada di posisi ini bergerak memutar ulang dalam kepala. Tangannya gemetar mengingat tubuh Bona terbalut cairan merah. Cairan yang masih menempel dalam tangan serta bajunya.

            Juyeon menarik napas pelan seraya melepaskan cekikan dari leher Lee Juyeon. Sorot datar itu mengintimidasi si lelaki yang terbatuk-batuk dan bergerak mundur ke belakang berteriak bahwa ia sudah gila dan akan melaporkan pada pihak berwajib.

            Ah, Juyeon tidak tahu. Pikirannya kosong. Yang ada, ia hanya ingin melenyapkan sosok yang sudah berhasil berdiri dan sedang meraih ponselnya. Namun, sebelum Lee Juyeon berhasil menelepon polisi, ia harus membuatnya berhenti, bukan? Maka, vas bunga yang berada di dekatnya Juyeon lempar kencang pada Lee Juyeon. Mengenai kepala si lelaki yang langsung terjatuh merintih kesakitan.

            Jika ancaman sudah tidak didengar, lantas tindakannyalah sekarang yang perlu diperjelas. “I’ve told you, to watch your behavior,” ujarnya. Lalu, kekehan itu terdengar. “Keep to our agreement, right?” Juyeon menarik langkah mendekat. Tubuhnya segera meloncat sesaat Lee Juyeon hendak bangkit.

            “I’ll kill you. Secara perlahan-lahan sampai lo memohon lebih baik mati daripada tersiksa.”

            Cutter yang Juyeon sembunyikan dalam kantong hoodie, laki-laki itu keluarkan. Bunyi cutter yang terbuka mengisi percakapan mereka. “Sshhh, gue pastiin ini cutter bakalan ada di leher lo kalo lo macem-macem, Berengsek.” Diselipkannya senyuman tipis di sana. Begitu ringan Juyeon menekan pada lengan yang mencoba berontak. “Ah, I don’t wanna see blood anymore,” decaknya kesal.

            Lee Juyeon bernapas lega melihat Son Juyeon masih belum melukai tangannya. Namun, begitu tiba-tiba tubuhnya terangkat, kemudian terdorong menuju beranda dan menghantam pagar beranda.

            “L—Lo ... lo mau apa, Anjing?” Getar dalam suaranya tidak bisa Lee Juyeon samarkan. Ia ketakutan. Sangat. Angin yang berembus membuat tubuh menggigil. Mereka sedang berada di lantai 6. “Lo mau apa, Anjing?! Lo mau gue hapus video itu? Oke ... oke bakal gue hapus!”

            Juyeon mendengkus. “Too late, Goblok.” Bola matanya memutar malas. Memuakkan. “Seharusnya dari awal lo gak main-main. Seharusnya lo ikutin apa kata gue. But you break the rule, Setan!”

            Lee Juyeon menelan ludahnya. “Maaf. Gue ... gue bakal ikutin kata lo. You want me going to jail? I’ll do it, I’ll do it! So, please ... please let me go, ‘kay?”

            Juyeon melepaskan cengkeramannya di kerah baju Lee Juyeon. Mengacak surai hitamnya, berpikir; memang setelah Lee Juyeon masuk penjara semua akan kembali seperti semula? Memang Bona akan normal kembali? Memang ketakutan itu tidak akan menjadi bayang-bayang yang merantai kedua kaki?

            Memang ... orang-orang akan memandang Bona secara sama kembali? Memang ... tindakan menyakiti diri dan membuat diri berada di perbatasan antara hidup dan mati tidak akan terulang? Memang trauma yang tercipta itu akan menghilang dan berkesudahan?

            “Mati, ya?” bisiknya. Setidaknya, jika Lee Juyeon mati satu sampah masyarakat menghilang. Setidaknya, ketakutan Bona akan berkurang jika sumbernya sudah tidak ada.

            Langsung saja Juyeon mendorong tubuh Lee Juyeon. Teriakan itu terdengar. Lee Juyeon mencengkeram erat tangan Juyeon. Ia tidak ingin mati.

            “Anjing! Lo—lo mau apa? Cepet bilang! Gue ikutin!”

            Napas tak beraturan itu terdengar. Lee Juyeon memohon dengan sangat untuk melepaskannya. Berbicara bahwa ia akan melakukan hal yang akan Son Juyeon perintahkan. Melakukan hal yang akan membuat video yang ia sebar menghilang, walau itu tidak akan pernah bisa terjadi. Begitu berusaha Lee Juyeon mencengkeram lengan Juyeon, lalu naik ke atas mencengkeram bahu dari lelaki yang sangat ingin membunuhnya.

            “I’ve said; mati, Lee Juyeon.”

- r a p u h -
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
––to be continued––

.

.

rapuh, eunbo. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang