4

135 24 0
                                    

Happy reading!!!

"Kenapa kau tiba-tiba menarik diriku ke mobil? Kau terlihat tidak suka dengan pernikahan itu."

"Mantan kekasihku."

Mata Ten mengerjap "Johnny mantan kekasihmu?"

Yuta mendesah lelah "maksudku, wanita yang berada di pelaminan itu mantan kekasihku." Jelasnya.

"Kau masih menyukainya?" Tanya Ten, tangannya menepuk pelan pantat Hendery.

Yuta menggeleng "tidak, aku sudah tidak menyukainya."

Ten mendengus "lalu kenapa kau membawaku? Kau tau, aku belum mencicipi makanan disana, bahkan Hendery mengatakan ingin mencicipi coklat."

"Aku memikirkan perasaanmu, aku tau kau tersakiti dengan pernikahan itu."

Ten menghela nafasnya "tidak usah pikirkan itu, aku rasa aku rugi, pergi ke pesta pernikahan namun tidak mencicipi makanan di sana."

"Aku akan mentraktir mu Ten, hanya makanan itu."

"Tidak usah, lebih baik antarkan aku ke restoran."

"Kau akan bekerja?"

"Lebih tepatnya memancing." Ten mendengus, pertanyaan Yuta sungguh tidak penting.

Yuta hanya terkekeh, dia mengantarkan Ten ke restoran tempatnya bekerja "mau aku temani?" Tawarnya.

Ten menggeleng "tidak, restoran sangat dekat, jangan seolah restoran jauh berada di dalam hutan. Tapi terimakasih kau telah mengantarku."

Yuta mengangguk "tentu, aku pergi terlebih dahulu." Dia melajukan mobilnya pergi dari restoran tempat Ten bekerja.

Ten masuk ke dalam restoran, dengan Hendery di gendongannya, dia menjadi pusat perhatian, dia masuk ke dalam ruangan miliknya, tanpa tau jika terdapat seseorang di dalam sana "kau masuk tanpa mengetuk pintu."

Ten mendengus "ini ruanganku." Ten menidurkan Hendery di sofa, membenarkan pakaian Hendery yang ke atas memperlihatkan perut bayinya.

"Aku atasanmu bodoh, dimana sopan santun mu itu."

"Hilang di bawa angin Lee Taeyong."

Seseorang yang di sebut Taeyong itu mendengus "aku mendengar tentang bayi itu."

"Baguslah, jadi aku tidak harus menjelaskannya lagi."

"Kau tidak sakit hati?"

"Ayolah Taeyong, sudah berapa kali aku katakan jika semua sudah masa lalu."

"Aku hanya mengkhawatirkan dirimu."

Ten menghela nafasnya berat "aku sakit hati, itu memang benar, terimakasih kau telah mengkhawatirkanku, namun ini tidak seburuk aku telah tertabrak, aku tidak ingin terlihat lemah, lupakan itu." Ten duduk di salah satu kursi, "lalu, kenapa kau berada disini? Seingatku jadwalmu kesini masihlah satu minggu lagi."

Taeyong berdeham "tujuanku kesini memang ada maksud, kau tau jika aku baru saja membangun sebuah restoran? Aku membutuhkan seseorang yang bisa aku percaya untuk menjalankannya, tidak ada yang aku percaya kecuali dirimu."

"Pada intinya saja Taeyong."

"Aku akan mengirimmu ke negara Thailand, mengelola restoranku." Jelasnya.

Ten menggeleng "tidak, aku menolak. Aku hanya bisa menjadi pengelola cafe seperti ini, bukan restoran." Mengelola cafe saja terkadang dia cukup frustasi ketika mengalami penurunan, apalagi restoran, yang mana tingkat penurunan lebih besar dari pada cafe.

"Ayolah Ten, aku tidak percaya pada siapapun kecuali dirimu." Bujuk Taeyong.

"Aku tersanjung kau lebih percaya padaku, tapi untuk tanggung jawab besar ini, aku cukup takut." Tolak Ten lagi.

"Kau hanya perlu mengelolanya Ten, aku harap kau mau Ten, aku mohon. Aku tidak bisa turun langsung ke sana, aku harus pergi ke Brazil mengelola yang lainnya." Bujuk Taeyong lagi.

Ten menyandarkan tubuhnya penuh pada sandaran kursi "baiklah, ada keuntungan juga aku pergi ke Thailand."

"Ya karena kau bisa pulang kampung."

Ten mengangguk pelan "kapan aku harus berangkat?"

"Sekarang."

"Kau mau mati?"

Taeyong tersenyum tidak nyaman "bagaimana lagi Ten, ini semua secara mendadak."

"Baiklah, lebih baik kau pergi."

"Kau saja yang pergi, kau harus mengurus semuanya, apalagi bertambah anak itu." Tunjuk yang pada Hendery.

Ten hanya mengangguk mengiyakan, dia akan pulang kampung, dia juga merindukan tempat keluarganya, mungkin dengan cara ini dia juga dapat lupa pada seseorang yang menghirup satu udara di kota itu.

Pulang ke rumahnya, Ten menyiapkan segala keperluannya, tidak banyak, dia hanya perlu membawa kebutuhan Hendery dan uang tentu saja, untuk yang lainnya, semua sudah tersedia di Thailand.

"Mae." Panggil Hendery, tangannya mengelus karpet bulu, itu terlihat berubah warna ketika di usap.

"Apa?" Jawab Ten, tangannya memasukkan beberapa baju milik Hendery.

"Kita akan pergi?"

Ten mengangguk pelan "iya."

"Tinggal disana?"

"Iya sayang, kita akan tinggal disana."
.
.
.

Keberangkatan Ten dan Hendery di percepat, saat ini mereka sudah berada di Thailand. Selama perjalanan Hendery habiskan dengan tertidur, dia terlalu lelah karena selalu mengagumi pesawat yang akan ia naiki, dia bergumam 'wow' terus menerus.

"Mae, ini rumah mae?" Mata Hendery menatap ke seluruh arah, rumah kecil namun dengan banyak tumbuhan di depan halaman.

Ten mengangguk "iya, ini rumah mae."

"Lebih nyaman disini dari dapa disana."

"Tentu saja karena itu adalah apartemen, bukan rumah."
.
.
.
Menata baju, menceritakan tentang Hendery pada keluarganya sudah Ten lakukan, dia senang bisa kembali bertemu dengan keluarganya dan tinggal bersama, dan masalah Hendery, keluarganya menerima dengan baik hati hadirnya anak angkat Ten itu.

Di Thailand, Hendery mulai bersekolah, Ten harus menyewa satu orang untuk menjadi translator untuk putranya itu, namun Hendery juga mengikuti kelas Thailand, dia bertemu dengan banyak anak asing yang sedang memperlajari bahasanya.

Sedangkan Ten, setia pagi dia pergi ke restoran, memutar otak bagaiman restoran itu diminati oleh banyak orang, jika cafe paling banyak diminati oleh para anak remaja, namun tidak dengan restoran yang harus mencapai target, tidak ada batasan usia sebenarnya, namun rasanya kurang jika sebuah restoran memiliki daya tarik hanya pada anak remaja.

Menyebarkan lembaran promosi tentang restorannya, hingga hari pertama ada beberapa orang yang datang untuk mencoba, itu sudah pencapaian yang cukup bagus.
.
.
.
Ten sibuk dengan urusan pekerjaannya, Hendery sibuk dengan urusan sekolahnya, lalu seperti apa kesibukan seseorang yang telah menyakiti Ten?

Keadaan Johnny setelah pernikahan terlihat baik, dia tetap bugar dan tegas. Dia tidak memperdulikan keadaan Ten lagi, baginya semua hanya masa lalu dan yak bisa ia kenang, dia memiliki istri yang harus ia jaga hatinya.

"Kau terlihat segar, apa karena kau memiliki istri?" Tanya Yuta, dia mengaduk kopi yang ia pesan.

"Iya, istriku merawatku dengan baik, dia selalu memanjakanku." Ketika terdapat seseorang yang berbicara seharusnya orang itu menatapnya, namun Johnny sebaliknya, dia menatap ke arah depan dimana dulu tempat apartemen Ten tinggal.

Jaehyun tertawa pelan di sertai gelengan, dia sadar kemana arah tatapan Johnny "kau tau? Banyak manusia naif, tapi aku tidak mempercayainya, namun sekarang aku percaya."

"Kenapa?"

"Yuta sedang membicarakan istrimu, namun arah pandangmu menatap ke arah lain, istrimu berada di hatimu, atau berada di apartemen sana?" Tunjuknya pada apartemen Ten dulu, memang restoran yang mereka tempati berada di depan apartemen Ten dulu, "kau mengatakan telah melupakan Ten bukan? Jangan menatapnya, terkadang menatap yang berkaitan dengannya, membuat kembali mencintai masa lalu."

Bersambung...

Imagination (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang