Yang Tersirat

80 10 11
                                    

Semuanya tampak berjalan lancar. Sore sepulang sekolah Leo datang ke rumah Caca, menjemput gadis itu untuk membeli peralatan yang akan mereka gunakan untuk membuat poster.

Caca sebagai bendahara kelas kini tampak sibuk merinci pengeluaran yang digunakan untuk berbelanja tadi. Meskipun uang ini hasil iuran sukarela dari teman-temannya, gadis itu harus memastikan bahwa jumlah uang yang keluar dengan struk belanja yang ia terima benar-benar sesuai.

Ia melirik tas belanja yang ada di sebelahnya seraya tersenyum lega. Mereka sudah mendapatkan semua peralatan yang dibutuhkan. Mulai dari kertas karton, spidol isi dua belas warna, papan tulis kecil, kapur tulis warna-warni, terompet, hingga balon. Kelas mereka memang sangat totalitas jika memberikan dukungan kepada anggotanya.

"Ca. Ambil ini," ucapan Leo membuat gadis berbandana ungu itu mendongak agar bisa menatap lawan bicaranya.

Di hadapannya tampak sepotong daging sapi yang sudah dipanggang, tengah disodorkan Leo menggunakan sumpit. Caca mengalihkan pandangannya ke arah Leo sejenak, melihat cowok itu yang tengah membuka mulutnya - seolah memberikan isyarat kepada Caca untuk memakan daging yang masih diarahkan kepadanya.

"Cobain," pinta Leo memperjelas maksudnya.

Ragu-ragu Caca mencondongkan tubuhnya ke arah sumpit itu, ia membuka mulutnya lalu menerima suapan dari Leo. Kedua mata almond milik Caca membulat sempurna begitu aroma dan rasa daging yang sedang ia kunyah benar-benar memanjakan lidah.

Masih dengan mulut penuh, Caca mengulum senyum dan mengarahkan jempol kanannya ke arah Leo, membuat kedua mata cowok itu berbinar, serta menyunggingkan senyum yang memperlihatkan gigi kelincinya.

"Ekspresi lo hampir sama kaya Handaru kalo lagi nyobain masakan gue." Komentar Leo sedikit memberikan informasi.

Mereka berdua saat ini berada di sebuah kedai all you can eat yang berlokasi tepat di seberang toko alat tulis tadi.

Caca memandang Leo dengan penuh rasa penasaran. Ia menelan makanannya sebentar lalu kembali bertanya, "Lo suka masak?"

Leo mengangguk semangat. Kedua bola matanya membulat dan berkilat senang ketika bercerita, "Banget. Dan karena ortu sibuk kerja, Handaru selalu jadi orang pertama yang cobain resep baru gue."

Caca menganggukkan kepala, ia tertarik dengan obrolan ini hingga mengabaikan catatan pengeluarannya yang ditulis di ponsel.

"Ngomong-ngomong soal Handaru, kayanya kalian deket banget, ya?"

Terlihat Leo tertawa di ujung sana lalu mengangguk mengiyakan.

"Bener. Kami sahabatan dari kecil. Dia udah gue anggep kaya adik sendiri, ya meskipun kadang dia bisa kasih nasehat yang bijak juga sih," terang Leo dengan senyum kecil tersungging di bibir. Cowok itu membalik daging yang ada di pemanggangan, lalu menatap Caca, "Kok jadi ngomongin Handaru gini?" tanya cowok itu menyelidik.

Caca sendiri tampak terkejut, merasa salah tingkah ditatap seperti itu. Ia mengarahkan rambutnya ke belakang bahu, lalu tersenyum canggung.

"Ya gue penasaran aja sih sama asal-usul kedekatan kalian yang udah kaya soulmate." komentar Caca mencari alasan.

"Masa soulmate gue cowok? Gue masih normal kali," tukas Leo sambil tertawa kecil.

CloseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang