Berat badan Adit bertambah.
Adit tahu akhir-akhir ini dia lebih sering di kamar dibanding menggerakkan badannya. Namun, ia tidak menyangka berat badannya akan bertambah cukup signifikan. Mungkin ini ada hubungannya dengan obat yang Adit minum. Nafsu makannya bertambah. Dia bolak-balik kamar dan kulkas cukup sering.
Ini bolak-balik yang ketiga ketika Adit melihat Mama dan Nini—panggilan untuk neneknya—mengobrol di ruang keluarga.
"Adit."
Panggilan Nini menghentikkan langkah Adit menuju kamar. Adit menoleh dengan tatapan bertanya. Ketika Nini menepuk sofa di sebelahnya, itulah pertanda Adit harus mendekat dan mengobrol sebentar dengan Nini. Sebentar di sini bisa lebih dari setengah jam.
"Kamu udah ketemu Mona?" tanya Nini ketika Adit baru saja menaruh pantatnya di sofa.
Adit berpikir sebentar. Mona?
"Perempuan seumuran Adit yang tinggal di seberang rumah," jelas Nini seperti sadar arti ekspresi Adit.
Bibir Adit membentuk huruf O. Yang kemarin menyeret-nyeret motor dengan wajah merah padam itu, ya?
"Kemarin aku yang ambil katering Nini dari dia," sahut Adit.
Mata Nini berkilauan ketika mendapat jawaban dari Adit. "Oh, ya? Terus, kalian ngobrol?"
Bagaimana bisa mengobrol ketika Mona langsung kabur begitu melihat batang hidungnya?
Gelengan Adit memudarkan kilau di mata Nini. Entah apa yang ada di pikiran Nini. Mungkin saja neneknya itu ingin menjodohkan Adit dengan Mona. Padahal, mendapat kejelasan dari Sazkia saja, Adit belum.
Tapi foto kebersamaan Sazkia dan Vino bukannya sudah jelas?
"Adit udah bisa nulis?" tanya Mama, mengalihkan topik begitu sadar raut tak nyaman di wajah anaknya.
Kalau melihat kursor kedip-kedip di layar laptop termasuk menulis, mungkin sudah.
Adit menggeleng lagi.
"Aku merasa hampa," kata Adit jujur. "Aku nggak merasakan perasaan apa-apa. Susah nulis ketika nggak menaruh perasaan di dalamnya. Selama aku masih merasa hampa, sepertinya aku belum bisa menulis."
Mama dan Nini lagi-lagi menatap prihatin. Adit mulai benci dengan tatapan tersebut. Kalau diingat-ingat, hanya Mona yang tidak menatapnya begitu kemarin. Mona malah menatapnya seperti penggemar yang bertemu idolanya. Kayak mau fan-sign tapi takut dan malu-malu.
"Mungkin kamu butuh keluar rumah, jangan di dalam kamar aja," imbuh Nini.
Mama mengangguk. "Tapi, Dokter Devan bilang kamu perlu didampingi. Mama bisa dampingi kamu. Adit mau ke mana?"
Adit bergerak tak nyaman. Selama ini, dia orang yang independen. Adit bahkan pernah backpacker ke gunung. Masa sekarang, ke mana-mana Adit harus didampingi seseorang? Itu seperti ... merenggut kebebasan Adit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Seberang Rumah
RomanceDunia Adit sedang hancur ketika bertemu Mona. Pernah melalui apa yang Adit lalui, Mona membantu Adit bangkit kembali merangkai dunia baru. Namun, siapa bilang dunia Mona baik-baik saja?