6. Satu Ruangan

9.1K 1.3K 33
                                    

Tiga hari telah berlalu sejak Adit mengingat sekeping episode psikosisnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga hari telah berlalu sejak Adit mengingat sekeping episode psikosisnya. Tak ia sangka, hal itu cukup membuatnya malas turun dari tempat tidur, dan beberapa kali ia pun perlu meredakan isak tanpa air matanya. Adit ingin sekali menghubungi Sazkia, meminta maaf, tetapi ia tahu, Sazkia yang memblokirnya sama sekali tidak memberikan Adit kesempatan untuk bicara lagi dengan perempuan itu.

Adit tak heran Sazkia memilih meninggalkannya. Mungkin memang dia pantas untuk ditinggalkan.

"Adit, udah siap belum?"

Pertanyaan Mama itu membuat Adit menoleh ke ambang pintu kamar. Mama sudah siap dengan baju bepergian. Adit pun tinggal mengenakan kemeja di balik kaus hitam.

Hari ini, Adit kontrol ke psikiater yang berada di Sukabumi. Sebenarnya Adit sangat malas karena obatnya masih ada, tetapi Mama membujuknya agar Adit mengenal dulu psikiaternya. Adit menurut saja.

Ketika Adit dan Mama ke luar rumah, Mona tengah menyalakan mesin motor. Adit dan Mama bersitatap dengan Mona. Entah sumbernya dari mana, Mona tersenyum ke arah Mama dan menyapa, yang disapa balik oleh Mama sama ramahnya. Adit mengerutkan alis. Apa hanya di hadapannya, Mona jadi pribadi yang terkesan kikuk?

Adit tidak terlalu memikirkan Mona sepanjang perjalanan berjalan kaki dari perumahan dan mencari angkutan umum untuk ke rumah sakit, namun, begitu melihat Mona berada di ruang tunggu kejiwaan yang sama dengannya, Adit tidak dapat memungkiri bahwa Mona tengah berputar-putar di pikirannya.

"Mona ke Dokter Lulu juga, toh?" tanya Mama ramah seolah keberadaan Mona di sana selazim itu.

Adit duduk agak jauh dari Mama dan Mona. Dirinya mengamati keduanya yang mengobrol akrab. Di samping Mama, Mona bisa bicara tanpa terbata-bata dan tampak percaya diri. Beda sekali ketika berhadapan dengan Adit. Apa Adit menunjukkan ekspresi yang tak ramah, ya?

"Ini anak Tante. Namanya Adit," ucap Mama tiba-tiba, membuat punggung Adit menegak. Untung saja di ruang tunggu kejiwaan ini hanya ada mereka bertiga.

"Adit," ucap Adit.

Mona tersenyum gugup. "Mo-Mona."

Tuh, kan?

"Mona Lidya Irawan."

Mona bangkit dari kursi panjang, pamit pada Mama untuk menuju ruangan dokter. Begitu figur Mona menghilang di balik pintu, Mama menatap Adit penuh arti.

"Apa?"

"Coba senyum, Dit. Biar orang nggak takut liat muka kamu."

Tebakan Adit benar. Mukanya terlihat garang.

***

Mona tak menyangka ia ternyata satu psikiater dengan Adit. Apalagi, mereka kontrol di hari yang sama. Untung saja ada mamanya Adit, jadi Mona nggak gugup.

Sekarang, Mona, Adit, dan mamanya Adit sama-sama menunggu obat Mona dan juga Adit selesai diracik. Mereka duduk dengan urutan Mona-mamanya Adit-Adit. Begitu mamanya Adit bangkit karena ingin ke toilet, jadilah Mona bersebelahan dengan Adit dengan jarak satu bangku kosong.

Tidak ada yang bicara di antara Mona dan Adit.

Suara di sekitar menjadi pengisi latar antara Mona dan Adit. Mona pun mengedarkan pandangan ke sekeliling, kecuali ke arah Adit. Sementara Adit tampak tak begitu tertarik untuk terlibat percakapan dengan Mona.

"Kalau boleh tau, udah berapa lama kamu ke psikiater?"

Pertanyaan Adit sontak membuat Mona menoleh. Adit ikut menoleh ke arah Mona, sehingga kini mereka bersitatap. Mona segera memutus tatap tersebut, lebih nyaman melihat lantai.

"Udah ... lima tahun," gumam Mona.

Dari ekor mata, Mona bisa melihat mata Adit melebar. "... lama juga."

Mona mengangguk. "Kalo kamu?"

Adit menaikkan alis. Tampaknya ia tak menyangka kini Mona balik bertanya. Mona sendiri kaget dengan keberaniannya yang muncul tiba-tiba. Padahal, Mona pun sudah tahu hal itu dari Nenek Bunga. Tapi, rasanya pasti berbeda bila Mona bertanya langsung.

"Baru jalan dua bulan."

"Masih baru, ya."

"Hm."

...

Canggung.

"Awal-awal, apa kamu juga merasa hampa? Karena itu yang aku rasakan sekarang," ucap Adit.

Mona lagi-lagi mengangguk. "Merasa hampa, nggak berguna, nggak ingin melakukan apa-apa, nggak ingin ketemu siapa-siapa ... itu yang aku rasain."

"Kamu seperti lagi menjelaskan apa yang aku rasakan."

Mona tersenyum tipis, berusaha menatap Adit sekilas. "Itu akan berlalu."

Tidak hilang. Hanya mereda, tambah Mona dalam hati.

"Apa yang kamu lakukan selama lima tahun ini?" tanya Adit lagi.

"Nggak banyak. Awalnya, aku nggak melakukan apa-apa selain minum obat, makan, dan tidur. Lalu kemudian, aku bosan, dan akhirnya aku belajar masak."

"Itu awal mula usaha kateringmu, ya?"

Mona terkekeh kecil. "Iya."

Tunggu. Mona bisa terkekeh? Di hadapan Adit? Apa Mona sudah mulai nyaman? Mungkin karena Adit tidak mengintimidasi seperti Danu?

Sepertinya, ini percakapan normal antara Mona dengan teman sebayanya.

Oh. Teman yang mengerti apa yang Mona rasakan.

Nama Mona dipanggil. Mona segera bangkit dan mengambil obatnya, bertepatan dengan mamanya Adit yang selesai dari toilet.

"Mona udah beres?" tanya mamanya Adit ramah.

Mona mengangguk. "Aku duluan, Tante. Abis ini masih harus anter katering-an."

"Iya, hati-hati di jalan, ya."

Mona mengambil pandang pada Adit yang ternyata juga tengah memandanginya. Mona mengangguk pelan dengan senyum tipis, anggukan yang dibalas oleh Adit. Hati Mona terasa penuh. Dia senang bisa benar-benar mengobrol dengan Adit walau obrolan mereka agak ... berat.

Mona berjalan dengan langkah ringan.

Hari ini benar-benar cerah.

***

Tentu saja sekembalinya dari rumah sakit, Mama menceritakan apa yang terjadi pada Nini.

"Kamu ketemu Mona?" tanya Nini dengan mata berkilauan. Tulisan di dahi Nini sangat jelas sekali. Perjodohan. Tampaknya, Nini menjadi orang pertama yang membangun kapal antara dirinya dan Mona.

"Anaknya baik, kan?" desak Nini.

Adit mengangguk. "Baik, Ni."

"Mona itu ... kasihan sekali, Adit. Orangtuanya meninggal pas dia umur 18 tahun. Kakaknya dinas di Palembang, jadi secara mendadak, Mona tinggal sendirian di rumah itu ... kalau Nini sendirian di sini sih, sudah biasa, karena sebelumnya Nini bersama almarhum Aki dan anak-anak Nini. Tapi, Mona ... di umur semuda itu ...." Nini menghela napas berat. "Untung tetangga sekitar baik. Kita saling menjaga Mona di awal-awal dia ... sakit."

Rentetan cerita yang sebelumnya tidak Adit hiraukan, kini ia simak baik-baik. Mungkin kepergian orangtuanya yang menjadi alasan Mona pergi ke psikiater. Sama seperti ... Adit ... kehilangan Papa.

Adit mengerling pada Mama yang tengah memakan potongan apel sambil menonton televisi.

Bagaimana kalau ia juga kehilangan Mama?

Di Seberang RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang