8. Bukan Salahmu

7.8K 1.2K 42
                                    

Adit tidak tahu apa kesalahan yang ia lakukan ketika pengendara motor tersebut turun dari motor dan menyalak padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adit tidak tahu apa kesalahan yang ia lakukan ketika pengendara motor tersebut turun dari motor dan menyalak padanya.

"Ngapain lo deketin cewek gue?"

Dari wajah Mona yang pucat, sepertinya, perempuan itu tahu siapa pengendara motor tersebut. Usianya sepantaran dengan Adit dan Mona, pertengahan dua puluh. Sepertinya, pengendara motor ini sudah salah paham dengan apa yang terjadi. Namun, masa mengobrol seperti ini saja sudah dikategorikan 'mendekati' seseorang?

"Gue tetangganya," sahut Adit, menunjuk rumah di seberang rumah Mona. "Dan gue nggak bermaksud deketin cewek lo. Sori udah bikin lo salah paham."

"Bullshit lo. Lo kira gue percaya? Lo pasti diem-diem mau ambil kesempatan saat gue nggak ada, kan?"

Alis Adit mengernyit. Kenapa kekasih Mona sangat red flag begini, ya?

"Da-Danu, yang dibilang Adit bener, kok ... aku sama dia nggak ada apa-apa ...." Mona mencoba melerai.

Danu beralih pada Mona. "Aku udah bilang, kan? Aku nggak suka kamu ngobrol sama cowok selain aku!"

Keributan yang dibuat Danu itu berhasil membuat lampu-lampu di sekitar rumah kembali menyala. Beberapa tetangga bahkan melongok dari jendela mereka, penasaran dengan apa yang terjadi.

"Lo bisa tenang sedikit, nggak? Ini udah malem," ucap Adit.

Danu melotot pada Adit sampai Adit takut bola mata laki-laki itu meloncat dari rongganya. Adit sudah sering menghadapi laki-laki bertemperamen seperti Danu. Contoh saja ... Papa. Adit jadi teringat tiap kali nilai ulangannya jelek, Papa pasti akan mengomelinya berjam-jam.

"Lo kira masalahnya gara-gara siapa? Kalo lo nggak deketin cewek gue, gue juga nggak akan bersikap kayak gini!"

Kepala Adit berdenyut nyeri. Jangan sekarang.

Sekeping memori mendesak Adit mengingat apa yang terjadi pada episode psikosisnya. Suara Danu dan Mona perlahan menghilang, tergantikan dengan memori menyakitkan tersebut. Adit berjongkok, memegang kepalanya yang makin berdenyut nyeri. Yang ia tahu, seseorang memegang pundaknya dan menuntunnya hingga tahu-tahu, Adit sudah di tempat tidur.

"Nggak apa-apa, Adit ...."

Ternyata Mama.

***

"Dia sinting, ya?"

Pertanyaan Danu itu entah dilontarkan untuk siapa ketika Adit dibimbing mamanya masuk ke dalam rumah. Mona terlalu terperanjat dengan apa yang terjadi, hingga kedua kakinya seperti mengakar di bumi. Ketika Danu beralih menatapnya, Mona tahu laki-laki itu tidak akan membiarkan masalah ini lewat begitu saja.

"Kamu lupa apa yang aku bilang? Aku nggak suka kamu ngobrol sama cowok selain aku," cetus Danu penuh peringatan. Danu berdecak kesal. "Sial, kamu bikin mood aku buruk. Dasar nggak ada gunanya."

Mona terpaku ketika Danu naik ke atas motornya dan meninggalkan kekacauan yang ia buat begitu saja. Menit demi menit berlalu, hingga akhirnya kaki Mona tak sanggup menopang lagi. Mona berjongkok, mengepalkan tangan erat-erat sembari menggumamkan kalimat, "Nggak apa-apa, nggak apa-apa ...," seolah mengatakan hal tersebut membuat semuanya baik-baik saja.

Kemudian, Mona bangkit, berjalan terhuyung ke arah rumahnya. Es krim dari Adit mencair, membuat tangan Mona lengket. Mona duduk di sofa ruang keluarga, meringkuk di sana.

Tangannya masih lengket hingga matahari terbit esok hari.

***

Tiap kali Adit bangun dari bunga tidur, beban berat di kedua pundaknya berangsur meringan, sakit yang ia rasa mulai berkurang, dan dia bisa menjalani hari-harinya dengan lebih bersemangat dibanding kemarin.

Pagi ini pun, beban di kedua bahu Adit meringan.

Adit tengah menyiram tanaman di halaman depan rumah Nini ketika Mona keluar dari rumah dengan tumpukan kotak katering yang diikat tali rapia di kedua tangan. Mata keduanya bertemu beberapa detik, sebelum akhirnya Mona memutus tatapan mereka. Mona menaruh kotak katering di boks belakang motornya, kemudian menggeser gerbang.

"Buat yang kemarin ... aku minta maaf," gumam Mona menunduk, kedua tangannya saling tertaut. "Danu nggak suka aku ngobrol sama cowok lain ... jadi, dia marah sama kamu ... harusnya aku nggak ngobrol sama kamu ...."

Harusnya kamu putusin aja cowok macam begitu. Itu yang Adit pikirkan, namun ia tak sampai hati menyampaikannya pada Mona. Pasti, ada alasan di balik Mona bertahan mendapat perlakuan seperti itu.

"Itu bukan salah kamu," sahut Adit pelan. "Jangan minta maaf."

"Tetep aja ...."

"Aku nggak apa-apa." Adit mengerling pada motor Mona. "Sebaiknya kamu mengantar katering-an, Mon. Jangan dipikirin lagi apa yang terjadi kemarin."

"Tapi—"

"Gih. Nanti terlambat."

Mona mengangguk, menyerah. Adit melihat Mona bersiap-siap pergi. Mona mengangguk singkat ke arah Adit ketika melintas dengan motornya. Adit terus melihat ke arah Mona pergi hingga ia merasa sedang diperhatikan. Ketika Adit menoleh ke belakang, ia menemukan Nini tengah duduk di teras dengan senyum penuh arti.

"Cuma temen, Nini," sahut Adit segera kembali menyiram tanaman.

Nini terkekeh puas. "Nini nggak bilang apa-apa, tuh?"

Untung saja Nini adalah neneknya.

***

Adit sama Mona tuh interaksinya cuma angguk-senyum-angguk tapi kok ya gemes sendiri pas aku baca ulang ....

Di Seberang RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang