6. Melarikan Diri

559 92 16
                                    


___

"Uhhh.."

"Argghhh.."

"Mppp.."

"Jishuunggg.."

"Kenapa lengket sekali?"

"Ahhh.."

"Aku basah!"

"Jisung!!"

"Pelan-pelan!!"

"Jangan mencium bokongku!"

"Uhhhh.."

"Euhhh.."

"Bisakah kau diam?" suara berat cenderung malas mengalun pelan.

Sungguh, untung saja Jisung masih bisa menahan agar burungnya tidak tegak. Jika tidak, entahlah, mungkin Chenle harus bertanggungjawab karena sedari tadi ia terus menerus mengeluh cenderung gelisah mendesah serius.

"Iya-iya aku diam. Tapi jauh-jauhlah dari bokongku! Kepalamu selalu menyeruduk bokongku!" ujar Chenle cukup menggema di saluran udara. Ia kembali merangkak ke depan.

Jisung hanya bisa menghela nafas malas, jika bukan karena berlian itu, Jisung tidak akan mau membawa gadis ini -tidak, maksudku lelaki ini- keluar dari tempat itu. Dan melihat bagaimana bokong berisi Chenle melenggak-lenggok di depannya.

Oh, sumpah demi apapun juga Jisung tidak mencium bokong Chenle. Percayalah. Jikapun Jisung ingin mencium Chenle, dia pasti sudah mencium bibirnya agar berhenti merengek seperti sekarang!

"Eung.. Uhhh.. Jisuuung!!" rengek Chenle lagi.

"Apalagi sih?" malas! Jisung sudah malas. Chenle benar-benar menguji kesabaran Jisung.

"Apa masih lama? Tempat ini gelap dan uuhh.. Sangat kotor.." Chenle mengeluh lagi untuk kesekian kalinya.

Jadi, jika kalian tahu, sepanjang mereka merangkak di dalam saluran udara ini Chenle sama sekali tidak berhenti mengomel, merengek, mengeluh, bahkan meracau tidak jelas.

Dia memang pernah berfikir ingin kabur lewat saluran ini, tapi tak pernah Chenle lakukan karena gelap dan kotor. Tapi, kini, ia sekarang berada di dalam saluran udara yang gelap dan kotor bersama seorang pria asing.

Sebenarnya tidak lagi asing, karena mereka sudah berkenalan tadi.

"Jisung, aku ingin keluar.." dia menghela nafas panjang. Chenle kesal karena ujung saluran tak kunjung terlihat. Apalagi punggung dan kakinya sudah pegal karena terus-memerus merangkak.

"Jalan saja dan diamlah, sebentar lagi kita sampai."

"Kau selalu mengatakan itu, tapi kita tidak sampai-sampai." eluhnya lagi. "Untung saja tidak ada tikus." ya, Chenle harus bersyukur karena tikus-tikus tidak mengganggunya kali ini.

"Lihat saja ke depan dan cepat jalan!" ucapnya sedikit meninggi. Jisung sudah lelah, untung saja Chenle masih baik hati memberinya ubi rebus. Setidaknya, perutnya tidak ikut-ikutan mengeluh.

"Uuhhh.. Jisung.. Kenapa banyak sekali sarang laba-laba?"

"Eungg.. Aku capek."

"Kita istirahat sebentar ya Jisung?" Chenle berhenti, masih dalam posisi menungging.

"Jika kau mau istirahat, setidaknya duduklah!"

"Kenapa?" dia menoleh kebelakang, "Kau tidak suka bokongku? Baiklah, aku jalan lagi saja."

Plinplan! Sungguh, Jisung ingin mencekik manusia di depannya ini.

Di dalam saluran udara yang sempit dan lembap inilah satu-satunya jalan keluar yang tidak terkunci. Bahkan Jisung sudah mencari cara agar mereka tidak harus keluar lewat saluran ini. Namun, semua pintu dan jendela terkunci. Bukan terkunci dengan gembok atau semacamnya, melainkan dikunci dengan sebuah sihir. Bahkan energi Chenle pun tidak bisa menembus sihirnya.

Tangled (JiChen) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang