3. Kebodohan

579 84 6
                                    


___

Hari sudah mulai terang, bintang bulan pun sudah berganti jaga dengan mentari. Hawa tadi malam yang dingin mulai menghangat. Burung liar berkicau riang, dan Jisung masih meringkuk tenang.

"Ughh.." Jisung merenggangkan tubuhnya.

Rasanya seluruh badannya kaku, apalagi kaki nya yang terasa sangat nyeri. Tidak heran, dia habis berlarian macam orang kesetanan tadi malam.

Dia bangun, mengucek dua matanya dan sedikit mengusap wajahnya. Jisung celingukan sendiri, di dalam hutan ini dia benar-benar sendirian. Untung saja tidak ada hewan buas yang memakannya saat tertidur pulas.

"Berlian!" cepat-cepat Jisung meraba sakunya guna mengambil berlian hasil curiannya.

"Huft.." helaan nafas lega ia hembuskan ketika berlian itu masih utuh berada digenggamannya. "Jangan pergi, aku tidak bisa hidup tanpamu kau tahu." Jisung tersenyum lalu mencium berlian itu.

"Aku mencintaimu. Jangan lepas dariku, atau aku tidak akan menjadi orang kaya." Jisung tersenyum lagi.

Dia memasukkan kembali berlian hasil curiannya. Lalu berdiri dan sedikit meregangkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal. Tak luput dua pahanya yang terasa sedikit nyeri.

"Ah, aku lapar." Jisung melihat sekelilingnya yang rimbun dengan pepohonan. "Aku harus kemana?"

Sungguh, Jisung memang bodoh. Tapi kali ini dia merasa benar-benar bodoh. Tidak tahu arah dan yang paling mengesalkan adalah perutnya lapar. Sangat lapar.

Dia mengusak rambutnya kasar. Mencoba memeras otak kecilnya untuk berpikir keras. Disaat seperti ini seharusnya jiwa petualang Jisung keluar. Tapi karena dia lapar, jiwa itu tiba-tiba menghilang.

Lalu tiba-tiba Jisung mendengar suara burung berkicau. Dia melihat ke atas dahan pohon. Mencari-cari sumber suara. Dan, oh, astaga. Keajaiban alam semesta suara burung itu membawa dua pasang mata Jisung melihat sebuah pohon jambu biji.

Ah, ternyata suara burung itu berasal dari sana. Jisung mendekat, dan dapat ia lihat dua pasang burung yang tengah menikmati jambu biji di atas dahan.

Jisung tersenyum sembari mengelus perut berototnya.

"Terima kasih burung." segera Jisung menaiki pohon jambu itu. Pohon jambu biji yang tidak terlalu tinggi tapi harus memanjat terlebih dahulu jika Jisung ingin memakan dua atau tiga buah.

"Astaga.." dia memanjat pohon jambu itu seperti kera. Jisung sudah mahir jika masalah manjat memanjat. Tak heran karena dia adalah seorang pencuri. Jika ketahuan mencuri, salah satu tempat paling aman untuk sembunyi adalah pohon.

Lelaki bertubuh tinggi menjulang itu duduk di cabang pohon, dia memetik satu buah jambu. Mengelap jambu itu dengan bajunya lalu memakannya. Jangan heran, meskipun dia miskin setidaknya dia masih menjaga kebersihan termasuk apa yang ingin ia makan.

"Eum.. Ini enak." buah jambu biji merah yang matang sempurna. Bijinya sedikit dan dagingnya banyak. Jisung harus bersyukur sekali lagi.

Kicauan dua burung yang tengah menikmati jambu biji itu masih terdengar. Menambah keindahan pagi untuk Jisung.

"Burung, apa kalian kelaparan sepertiku?" tanya nya pada dua ekor burung yang bertengger tak jauh darinya.

Burung itu pun menjawab pertanyaan Jisung dengan kicauan, yang membuatnya tersenyum lebar. Setidaknya, lagi, dia tidak sendirian. Ada sepasang burung yang menemaninya sarapan. Sungguh pagi yang menyenangkan.

Tiga buah jambu biji habis ia lahap. Dia kembali memetik tiga buah lagi sebagai bekal perjalanannya nanti.

Sepasang burung tadi sudah pergi. Perut mereka sudah kenyang. Begitu pula Jisung. Perutnya sudah tak keroncongan lagi. Setelah mengantongi tiga buah jambu di sakunya, dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.

Tangled (JiChen) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang