7. Si Cerewet

547 83 22
                                    


___

Jisung melirik ke bawah sekali lagi. Lalu berdecak kesal lagi. Melirik lagi, berdecak kesal lagi, melirik, berdecak, melirik, berdecak, terakhir mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

Sedangkan yang dilirik tengah sibuk dengan jambu biji di kedua tangannya. Jambu biji merah yang sangat segar. Dipetik langsung dari pohonnya. Tanpa menyadari bahwa dia sudah berada jauh dari tempat tinggalnya.

"Hey,," panggil Jisung pada Chenle, "Hei!" ucapnya sedikit mengeraskan suaranya, "Yak!" tak ada sahutan. Chenle tetap sibuk dengan dua jambunya. "Kau ini tuli atau apa sih pendek!!" decak Jisung kesal.

"Namaku bukan pendek Jisung.." ujar Chenle lembut. Hatinya tengah bahagia sekarang. Marah-marah tidak masuk dalam daftar kegiatannya hari ini.

"Chenle, apa kau tidak takut?"

"Kan ada kau disini yang akan menjagaku." ucapnya enteng.

Jisung? Jangan tanya bagaimana dia. Helaan nafas kasar berulang kali ia hembuskan. Tidak tahu harus berbuat apa. Oh, sungguh, cobaan apalagi yang akan dia hadapi kali ini. Jisung benar-benar pusing.

Firasatnya benar. Pohon jambu ini adalah pohon jambu tempat persinggahannya tempo hari. Bahkan dia masih ingat dengan jelas buah jambu yang masih utuh ada di ujung ranting sebelah kanan tempat ia duduk. Yang kini sudah matang, dan sudah habis dilahap oleh Chenle.

Sebenarnya bukan masalah mereka berdua tersesat atau apa, tapi takut jika manusia ogoh-ogoh itu datang dan membunuh Jisung serta Chenle.

Selain itu, yang Jisung khawatirkan sekarang adalah Chenle. Ia takut lelaki mungil itu akan menangis jika tahu bahwa Jisung tidak bisa mengantarnya kembali ke kastil karena lupa jalan.

Oh, Ya Tuhan.. Jika ini akhir perjalanan Jisung, dia sudah ikhlas.

"Chenle.." panggilnya lagi yang terdengar sedikit ragu.

"Apa?" yang dipanggil masih sibuk dengan jambu bijinya. Entah sudah berapa buah yang Chenle makan. Yang jelas buah yang masih berada di pohon itu hampir habis.

Jisung tak menjawab, sibuk mencari alasan agar manusia kelewat cerewet ini tidak marah. Dia turun dari pohon, lalu duduk disamping si manis gugup.

"Chenle.." dia melihat jambu biji yang tinggal setengah ditangan Chenle.

"Ada apa?" jawab Chenle masih tenang. Namun raut wajahnya sedikit kesal.

Melihat itu, Jisung semakin cemas. Dia sedikit memainkan bajunya, menelan ludahnya berkali-lali, melirik lelaki manis disampingnya sesekali. Lalu menghadap ke depan dengan menghembuskan nafas panjang guna meringankan berat di hati.

"Chenle.." panggilnya lagi dengan sedikit terbata.

"Apa sih?" benar bukan, jawab Chenle ketus sedikit kesal karena Jisung terus-terusan memanggilnya.

"Jika aku tidak bisa menjagamu bagaimana?"

Chenle menghentikan aktifitasnya sejenak, lalu menoleh ke arah Jisung yang berada tepat disampingnya. Dahinya berkerut.

"Apa maksudmu?"

"Jadi begini Chenle-"

"Kau mau kita kembali sekarang?" sela Chenle memotong kalimat Jisung.

"Tapi, jadi, begini Chenle.." Jisung membenarkan duduknya sedikit menyerong menghadap Chenle. Begitu pula Chenle membenahkan duduknya untuk menghadap Jisung.

"Apa? Katakan saja." ujar Chenle antusias. "Kau mau membawaku ke tempat lain? Sebenarnya aku ingin melihat air yang sangat banyak Jisung.." dua matanya berbinar. Membayangkannya saja membuat jantungnya berdegup kencang.

Tangled (JiChen) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang