8. Lari

477 72 2
                                    


___

Warna jingga kemerahan di ufuk barat itu sudah pudar. Mentari telah menyingsing, udara hangat menjadi lebih dingin, langit berubah warna biru tua, dan semuanya perlahan-lahan menjadi gelap gulita.

Jisung, dengan mengandalkan firasatnya ragu-ragu membelah hutan yang menurutnya semakin malam semakin mencekam.

Chenle, dia yang sudah berjanji tidak akan berbicara hanya diam sambil satu tangannya memegang erat baju Jisung dari belakang dan tangan satunya menutup mulutnya.

"Jika kau berbicara lagi aku akan menyumpal mulutmu dengan sepatuku!" gertak Jisung benar-benar manjur membuat Chenle diam sepanjang jalan. Meskipun mulutnya sudah berbusa ingin mengomel, tapi janji adalah janji. Ia harus menepati.

"Apa?" suara lelah Jisung memecah keheningan ketika Chenle menarik baju Jisung berulang kali sampai hampir merosot.

Jisung menoleh ke arah yang Chenle tunjuk. Dan dapat ia lihat sebuah cahaya berkelip-kelip dibalik pohon-pohon.

Dia menyipitkan kedua matanya, guna memastikan cahaya itu berasal dari lampu atau hanya kunang-kunang saja.

Jisung mendekat, begitu pula Chenle yang hanya mengekor sambil terus menggenggam baju Jisung.

"Itu rumah!" pekik Jisung yang cukup membuat Chenle kaget. Sungguh, Chenle ingin teriak kegirangan tapi ia tahan karena dia sudah berjanji.

"Ayo kita ke sana.." Jisung memegang tangan Chenle. Menariknya untuk mendekati sumber cahaya.

Di dalam kegelapan pasti ada satu titik cahaya yang dapat menyelamatkanmu. Jisung percaya bahwa cahaya itu adalah keselamatannya juga Chenle. Sepanjang ia berjalan mendekati cahaya itu tak luntur ia tersenyum. Begitu pula lelaki manis yang berada di dalam genggamannya itu.

Sepanjang Chenle hidup ia tak pernah merasakan digenggam seseorang seperti ini. Jeno mungkin setiap hari memegang kedua tangannya, tapi rasanya berbeda saat Jisung memegang tangannya.

Saat kedua tangannya digenggam oleh Jeno, Chenle hanya dapat merasakan energinya mengalir dan berkurang. Sedangkan saat ini, Chenle dapat merasakan energinya seperti berputar hingga membuat hatinya berdebar.

Oh, sungguh, perasaan yang aneh muncul begitu saja dari dalam diri Chenle. Dia merasa semua menghilang dan hanya menyisakan Jisung seorang. Yang selain membuat hatinya berdebar, dia juga merasa sangat bahagia. Dan membuatnya hangat walau hanya satu tangan saja yang digenggam.

Hingga tak terasa mereka sudah sampai di sebuah tempat. Lebih tepatnya adalah sebuah gubuk berukuran cukup besar dan terlihat sangat terang. Pantas saja cahaya itu nampak dari kejauhan.

Dibalik pepohonan dekat gubuk itu, Jisung melihat-lihat sedikit waspada. Takut jika dia masuk kawasan istana lagi. Dia yakin seluruh penjaga istana pasti sudah mengenali wajah tampannya. Termasuk pelayan tampan bernama Jungwoo itu.

Tapi, melihat bagaimana sekeliling gubuk itu Jisung yakin bahwa tempat ini bukan kawasan di istana.

"Lalu apa?" Jisung bertanya sendiri, masih menggenggam jemari kecil Chenle, dan tentunya sang empu dari yang digenggam masih senantiasa tersenyum sumringah.

Hingga Jisung sadar dan melepaskan tangan Chenle, yang cukup membuat lelaki mungil itu terkejut. Ia masih ingin digenggam tangannya, tapi Jisung seenak jidat melepaskannya begitu saja. Ini tidak adil.

"Ayo ke sana." urung Jisung melangkah, tangannya diraih lagi oleh Chenle. Dia melihat bagaimana lelaki manis itu menggenggam jemari besarnya dengan senyum lebarnya. Dan tentu saja hal itu membuat Jisung keheranan.

"Apa kau gila?" satu kalimat tanya yang Jisung lontarkan cukup membuat ekspresi Chenle berubah masam. Jika dia tidak berjanji, mungkin lelaki mungil itu sudah mencaci maki Jisung. Dasar lelaki tidak peka. Begitu mungkin batinnya.

Tangled (JiChen) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang