"Nunggu hujan reda?" tanya Willy ketika Laura bertopang dagu sembari melayangkan tatap ke arah jendela.
Laura melirik sinis, "Di mana Seana?"
Willy menatap Laura aneh, "Kenapa kau menanyakannya?"
"Dia 'kan pacarmu, harusnya kau bersama dengannya sekarang," ketus Laura.
"Sudahlah, cerpenmu sudah selesai?" tanya Willy mengalihkan topik.
"Sudah, tapi kau tak boleh membacanya."
Willy kecewa, lalu bertanya, "Kenapa?"
"No reason."
"Baiklah, apa judulnya?" Willy mencoba mengalah.
"Sajak kosong."
Laura langsung angkat kaki meninggalkan Willy, yang membeku sebab dua kata terakhir yang diucapkan Laura.
"Laura, sebentar!" teriak Willy ketika Laura di ambang pintu.
"Hm?"
"Boleh aku tahu kalimat terakhir yang kautulis di cerpen tersebut?"
Laura mengangguk, lalu berucap, "Tuhan, tolong. Jika membuatnya menjadi milikku tak memungkinkan, berhenti membiarkan segala tentangnya terasa begitu menyenangkan."
"Kau ... tidak serius 'kan?" tanya Willy takut.
Laura tertawa datar, "Tentu tidak," jawabnya pendek.
"Lalu, apa yang sebenarnya kautulis, Ra?"
Laura tersenyum misterius, "Kau tidak boleh tahu," balas Laura dengan senyum kemenangannya.
Hanya ia dan pembaca yang boleh tahu akhir dari cerita tersebut, luka yang ia simpan sendiri tak boleh dibuka oleh sang pemberi luka, itulah tekadnya. Nyatanya, hadirnya seorang seniman dalam hidupnya, hanya membuat sajak itu terisi sesaat, kemudian ia tinggal pergi dan membiarkannya kosong seperti semula.
'Pada akhirnya, kisah ini diakhiri dengan titik yang tak diingini sang penulis, tentang sepenggal luka yang lahir sebab perginya sang pemberi canda.'

KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Kosong
Historia Corta"Sajakmu kosong, Ra," celetuk William di suatu hari setelah rapat mingguan OSIS selesai. "Yang mana?" "Kumpulan puisi yang kautulis 2019 kemarin, ada yang membuatmu patah di tahun itu?" tanya William, tangannya tetap bergerak mengikat tali sepatu. "...