5

687 59 31
                                    

Sana tersenyum lebar menyambut kedatangan Mina dan Chaeyoung di siang Sabtu itu. Mina yang berambut Hitam sebahu dan memiliki tubuh tinggi langsing yang indah. Namun saat ini lekuk tubuhnya mulai berubah. Lekukan di perutnya mulai terlihat.

Sana mengajak keduanya duduk di ruang tamu. Tzuyu yang tadinya menemani Sullyoon bermain di ruang keluarga menyerahkan pengasuhan putrinya pada Mrs. Jisoo, lalu turut bergabung bersama Sana. Sementara sang suami bertukar kabar dengan Mina dan Chaeyoung, Sana ke dapur memberi tahu Asisten rumah tangga agar menghidangkan minuman untuk tamu mereka.

"Nayeon barusan mengirim pesan, dia akan datang ke Seoul dalam beberapa hari ini." kata Mina begitu Sana kembali ke ruang tamu.

Sana duduk di samping suaminya dan memandang Mina dengan mata melebar senang. Nayeon adalah sahabat mereka yang telah menikah dua tahun lalu dan tinggal di Amerika sejak itu. Kini Nayeon memiliki seorang putra berusia satu tahun.

"Wah, aku tak sabar bertemu dengannya." kata Sana dengan senyum yang dibuat seceria mungkin.

Tiba-tiba saja rasa sedih menyerangnya dengan dahsyat. Nayeon dan Mina jelas sangat beruntung karena hamil tidak lama setelah menikah. Sana resah dan terpuruk mengingat kondisinya yang tak seberuntung kedua sahabatnya itu. Satu jam berikutnya, Sana memaksakan diri tetap antusias mendengar cerita-cerita Mina meski sebenarnya hatinya menggeliat pedih.

Saat kedua tamunya itu berpamitan pulang, Sana segera masuk ke kamar. Sullyoon telah tidur siang ditemani Mrs. Jisoo. Sana berdiri di dekat jendela kamar. Ia memandang ke luar dengan perasaan merana yang tak kunjung pulih.

"Sana."

Sana berbalik dan mendapati Tzuyu sedang berjalan menghampirinya.

"Apa yang kaupikirkan?" tanya Tzuyu sambil meraih Sana ke dalam pelukan lengan kukuhnya dan mengecup lembut ubun-ubun sang istri.

Sana menggeleng pelan.

"Tidak ada apa-apa."

Tzuyu melepas pelukannya dan memandang Sana dengan tajam.

"Apakah kau memikirkan si pengirim bunga?"

Mata Sana melebar. Dengan cepat ia kembali menggelengkan kepala.

"Tidak. tentu saja tidak. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir seperti itu?"

"Kau melamun."

"Ada yang aku pikirkan." kata Sana akhirnya terpaksa berterus terang dari pada Tzuyu berpikir dirinya mendua.

"Katakan padaku."

Sana melepaskan diri sambil berjalan lalu duduk di bibir ranjang.

"Beberapa waktu lalu aku ke dokter."

"Kau tidak sehat?" Tzuyu terkejut.

"Kenapa aku tidak tahu?" Nada sesal mewarnai suara Tzuyu.

Sana menggeleng melihat kecemasan Tzuyu.

"Tidak. Aku ke dokter kandungan."

"Dokter kandungan?"

Sana mengangguk enggan.

"Kita sudah menikah enam bulan Tzu, dan aku belum hamil."

"Kita tidak terburu-buru, Sana." Tzuyu duduk di sisi Sana.

"Ya, tapi ini sudah enam bulan. Kau sangat ingin memiliki anak, sebenarnya aku juga sangat menginginkannya." jawab Sana dengan suara pelan.

"Jadi, apa kata dokter?" tanya Tzuyu setelah sesaat keduanya terdiam.

Sana mengambil sebuah amplop yang ada di dalam laci nakas dan mengulurkannya pada Tzuyu.

"Semua baik-baik saja. Katanya aku harus banyak istirahat."

ᵐᵃʳʳⁱᵃᵍᵉ ᵖʳᵒᵖᵒˢᵃˡTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang