Kecamuk hatinya meradang, Jingga hanya bisa mengepalkan tangannya, kemudian sontak menarik tangan Fani untuk pergi. Gadis itu itu tidak ingin ikut campur lagi dengan Iqbal, perasannya usai, hatinya lebih baik dibiarkan kosong, bayang-bayang Iqbal menyakitinya benar-benar membuat Jingga seketika sesak luar biasa.
Bersama ombak dan suara angin yang beradu dan matahari yang mulai tenggelam, Jingga duduk di karpet dan mengambil satu mangkok di atas nampan dan melahapnya sambil memperhatikan ke arah pantai yang begitu menyejukkan.
Perhatiannya Jingga lurus, tak ingin menoleh ke arah depan yang mengesamping di mana sepasang kekasih yang asik dengan air laut.
Fani berdehem, ragu membuka suara dikarenakan melihat Jingga yang membisu.
"Je?" panggil Fani.
Jingga menoleh ke arah Fani. "Kenapa lo gak main mie ayamnya, enak banget, Fan."
"Gue hancurin healing lo, ya?" tanya Fani ikut duduk di samping Jingga.
Gadis itu menggeleng cepat. "Ngomong apa, sih, lo?"
Gadis itu terkekeh. "Keburu gak enak tuh, mie ayamnya."
Fani mengangguk, mereka kembali menikmati suasana pantai, melupakan kejadian yang sedikit tidak mengenakan.
"Dingin banget, Fan." Jingga berujar, membuat Fani sontak mengambil kain panjang di dalam keranjang coklat berbahan kayu.
"Kalau lo nggak nyaman kita bisa balik pulang, Je."
"Lah, kata siapa?" Gadis itu berucap sambil mengerucutkan bibirnya. "Lo nggak liat baju gue basah! Makanya kedinginan!"
"Hahahaha, maaf, Je." Fani tertawa.
Jingga memaklumi, gadis itu berdiri, membuat Fani bertanya-tanya. "Kenapa, Je? Lo mau balik?"
"Enggak lah, gue mau hp gue yang dicas di mobil lo."
Fani mengangguk. "Yudah, gue tunggu."
Setelah itu, Jingga langsung berjalan cepat ke mobil, lalu kembali membawa ponselnya.
Jingga mendesah kesal, "Batre hp gue boros banget, baru tadi gue liat 100 malah jadi 50," sahutnya.
"Lo sih, ngecasnya di mobil."
"Kalau nggak gue cas, gimana gue bisa foto-foto nih, tempat?"
"Pake hp gue kan, bisa."
"Ya juga, sih. Lo mau fotoin gue nggak? Anggep aja ini foto terakhir kesedihan gue."
***
Waktu paling indah yang dialami Karin adalah hari ini, gadis itu memeluk tubuh Iqbal di antara air laut yang terombang-ambing ke depan menciptakan kehangatan yang tidak bisa Karin rasakan di manapun. Iqbal membalas pelukan tubuh Karin yang basah bersama dengan tubuhnya.
"Jangan pernah sedikitpun ada kata pisah dari kita, Bal." Dengan sungguh-sungguh Karin mengatakan itu, ia tidak ingin kehilangan Iqbal kedua kalinya.
Iqbal mengangguk. "Pasti sayang."
Karin melepaskan pelukan Iqbal, ia tersenyum, dan tak dapat membendung air matanya mendongak ke atas memandang wajah Iqbal yang lebih tinggi darinya.
Iqbal yang melihat Karin meneteskan air matanya langsung menyekanya. "Udah jangan nangis."
Karin menggeleng. "Aku takut banget kehilangan kamu, Bal."
"Ikuti alur aja, Kar," balas Iqbal tersenyum.
Keduanya saling memandang dan menyalurkan perasaan cinta mereka, hingga keduanya memutuskan kontak mata dan fisik untuk menikmati rasanya berenang di laut di waktu matahari terbenam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey! I Just Want You!
JugendliteraturLelucon gila terus saja datang mempengaruhinya untuk berhenti pada satu hal yang ia perjuangkan selama ini. Tapi, baginya satu nama yang ia simpan dan jaga dengan baik adalah segalanya yang harus menjadi milik Jingga. Segala yang paling banyak memba...