BAB 17 [Ma, Maafin Jingga.]

110 16 0
                                    

"Ketika kamu mencoba untuk melukai satu gadis, dia jauh lebih pintar dalam membuat ramuan penyembuh dengan berpura-pura seolah semua yang kemarin, tidak pernah terjadi."

***

"IQBALLL!" Satu teriakan keras membuat beberapa perhatian orang-orang tertuju pada satu gadis.

Sejak tadi Jingga berusaha keras memanggil Iqbal seperti orang yang kehilangan akal, akan tetapi sama sekali tidak digubris oleh laki-laki itu dan malah Iqbal lebih memilih melangkahkan kakinya menjauh. Seolah-olah sengaja berusaha menghindar.

"BAL! HEY! DI SINI! DI SINIIIII!" Jingga melambaikan tangannya, kemudian menunjuk dirinya penuh semangat.

"IQBALLLL! DI SINII! TUNGGUIN!"

Eno yang geram menggeplak punggung laki-laki di sampingnya yang sama sekali tidak berniat berhenti melangkahkan kaki.

"BALLLLLL! IQBAL!"

Eno kembali menggeram mendengar teriakan tersebut, teriakan itu berhasil mengusik ketenangan hatinya dan terpaksa menahan lengan Iqbal.

"Bal, lo diliatin orang-orang!" bisik Eno.

Iqbal yang berusaha untuk tidak peduli dengan melangkah kakinya untuk menghindari Jingga harus ditahan sahabatnya sendiri untuk berada di situasi melelahkan seperti biasanya.

Iqbal menatap Eno kesal. Laki-laki itu berbalik arah menatap Jingga yang berlari ke arahnya.

Jingga tersenyum lebar menatap Eno, lalu beralih pada Iqbal yang terlihat lelah.

"Gue boleh nebeng bareng lo kali ini, Bal?"

"Bareng Eno aja," tolak Iqbal sambil tersenyum tipis, bagaimanapun dirinya harus mengontrol emosinya.

Jingga menggeleng. "Gue mau sama lo."

Iqbal diam sebentar, lalu laki-laki di hadapan Jingga mengambil satu pena dan sebuah kertas di kantong sakunya hendak memberikan kedua benda tersebut kepada Jingga.

Iqbal meraih tangan Jingga dan memberikan kedua benda miliknya agar Jingga genggam.

"Apa ini, Iqbal?" tanya Jingga penuh kebingungan, sedangkan Eno memilih diam saja, laki-laki itu harus pada batasannya.

Jingga mengangguk paham. "Ouh, lo mau minta nomor hape gue lagi? Lo kan, udah punya! Apa kemarin lo hapus nomor gue?" tanya gadis itu.

Iqbal menggeleng kepalanya dan menatap perempuan di depannya penuh keseriusan, lalu berujar, "Lakuin rutinitas lo. Gue gak ada waktu buat ladenin lo, Je."

Setelah mengatakan itu, Iqbal tersenyum canggung dan pergi meninggalkan keduanya.

Jingga yang masih tidak percaya menatap satu surat dan pena digenggamnya.

Satu laki-laki yang hanya tersisa di depan Jingga hanya Eno. Eno memandang punggung sahabatnya yang menjauh beralih memperhatikan raut Jingga yang sedih.

Ia mendekat dan memegang pundak gadis itu dengan senyuman penuh ketenangan. "Nebeng sama gue aja, Je. Sebelum itu, lo tulis gih surat buat laki-laki kesayangan lo, gue bakal tunggu."

***

"Paham yang gue maksud?"

Jingga mengangguk. Tak hanya sekali, ia terus mengangguk memberi balasan saat Eno menasehati gadis itu untuk berhenti mengejar sahabatnya itu. Bagi Eno harga diri Jingga sebagai perempuan benar-benar dipertaruhkan di sini.

Hey! I Just Want You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang