03

74 8 0
                                    

"terkadang aku ingin memintamu untuk selalu di sisiku, namun entah mengapa begitu sulit untuk mengatakannya".









"Apa kamu bahagia?".

Tiba-tiba muncul suara entah itu suara siapa dan darimana asalnya. Aku terdiam sejenak mencerna apa yang aku pikirkan dan apa yang baru saja aku dengar. 'apa aku bahagia?' kata kata itu terlintas di benakku, aku tersenyum sesaat dan tersadar bahwa aku bahagia untuk sesaat hanya karena orang baru.

"Ternyata bahagia itu memang benar benar sederhana".


* * *

Aku berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya, berharap bertemu dengan Nathan lebih awal dan dapat berbincang bersama. Terkadang aku kembali memikirkan tentang suara suara aneh di dalam fikiranku namun aku mencoba untuk mengabaikannya. Aku melihat Nathan seperti biasanya, ia sudah duduk di kursiku sembari membuka bukunya.

Aku berjalan perlahan lahan menghampirinya, tentu saja pasti ia menyadari kehadiranku namun ia diam. Sebenarnya aku merasa agak canggung untuk berteman dengan orang yang pendiem sekali seperti Nathan, namun aku berusaha mencobanya sebisaku.

"Kamu baca apa tuh?", Tanyaku penasaran.

"Oh ini, novel lamaku", jawab dia tanpa memalingkan wajah dari bukunya.

"Kenapa kamu ga bosen baca novel? Kenapa ga nontoj filmnya aja? Novel itu gak ada gambarnya, dan pasti bikin lelah mata", aku berusaha membuka percakapan meski aku tak yakin bagaimana reaksinya.

"Hahaha... Kenapa kamu suka matematika dan menghitung manual padahal sudah ada kalkulator buat menghitungnya?",

Aku terdiam ketika mendengar jawabannya, dia sangat pintar membalikkan perkataanku yang biasanya tak jarang di pikirkan orang lain.

"Karena matematika itu menarik, seperti... Kamu", candaku.

Nathan terdiam lalu menatapku selama beberapa saat, aku menjadi bingung harus bagaimana dan mulai berpikir bahwa perkataanku tadi salah.

"Iya, sama halnya dengan buku ini. Sangat menarik sampai sampai aku lebih suka memandang buku ini daripada manusia", Nathan tersenyum sembari melanjutkan kegiatan membacanya.

Aku merasa tertantang jika bicara dengannya, rasanya seperti aku menemukan seseorang yang cocok berbicara denganku.


* * *

Kini malam telah tiba, hari ini pula ayahku pulang ke rumah. Aku hanya diam di dalam kamar seperti biasanya, tidak ingin mendengar ataupun mencari masalah dengan saudara saudaraku.

"Pahh, anaknya ajarin dong jangan suruh diem di kamar aja", terdengar suara delina yang sedang berprotes.

"Iya pah, diem terus tuh anaknya", timpal Arin.

"Ehhh... Kak, PS aku hilang", Delina terkejut dan menatap Arin.

"Pasti Alvan yang ngambil... Pahh suruh anaknya jangan nyembunyiin PS Delina dong pah, papah anaknya di manja terus jadi ngelunjakkk", Arin berusaha membuat sang ayah marah.

Mendengar hal itu membuat hatiku sakit. PS yang delina maksud adalah PSku yang selama ini delina mainkan, aku mengambilnya karena ingin merawat PS pemberian teman lamaku, aku hanya ingin egois sekali saja.

who?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang