"beribu ribu kata yang ada di dalam fikiranku namun ketika aku sudah berada di hadapanmu aku hanya bisa mengatakan aku mencintaimu".
Pagi hari telah tiba, aku terbangun dan membuka mataku perlahan-lahan, ku lihat Nathan sedang merapihkan mejanya lalu tersenyum menatapku.
"Alpaaan sudah bangunn yaa..." Nathan berjalan mendekatiku lalu mengecup bibirku.
Pemandangan pagi hari yang amat sangat indah membuat suasana hati keduanya sangat baik.
* * *
Author POV
Hari ini, Alvan dan Nathan berangkat kesekolah bersama seperti hari hari sebelumnya. Entah mengapa menurut Alvan pagi hari ini terasa sangat indah dan menyenangkan, ia tersenyum sepanjang jalan.
"Nath... Nanti malam mau makan?" Tawar Alvan.
"Emmm mau mam dimanakah?" Tanya Nathan sembari menatap kedua mata Alvan.
"Kamu ikut aku aja sayang, biar aku yang cari tempatnya" Alvanpun tersenyum membuat Nathan ikut tersenyum juga.
Setelah beberapa menit...
Alvan dan Nathan sampai di sekolah, suasana masih sunyi seperti biasanya. Mereka menikmati waktu berdua ya sebelum siswa siswa lain memasuki ruangan. Namun, tanpa mereka sadari ada seseorang yang merekam mereka dari kejauhan.
* * *
Nathan berjalan sembari cemberut, hatinya kesal namun ia juga khawatir karena hari ini Alvan harus pulang ke rumah. Nathan terus memikirkan Alvan disepanjang jalan sambil menendang nendang batu yang ada di hadapannya. "Huh... Aku kesall!" Ucap Nathan lalu Nathanpun segera masuk ke dalam kamar kostnya.
Di seberang sana ada Alvan yang memperhatikan Nathan, ia sangat merasa tidak enak karena tidak jadi mengajak Nathan makan. Namun ia sadar, ia tidak dapat melakukan apapun jika ia tidak menuruti perintah ayahnya.
Dengan berat hati, Alvan melangkahkan kakinya pulang menuju rumahnya. Tatapan saudara dan kedua orang tuanya sangat sangat tidak nyaman seolah olah mereka ingin menusuk nusuk Alvan yang masih ada di depan pintu.
"Alvan... Duduk..." Suara sang ibunda yang langsung Alvan turuti.
Alvan duduk di kursi berhadapan dengan saudaranya dan di samping sang ayah, jantungnya berdegup sangat kencang membuat Alvan terkejut lalu menatap ibunya 'mahh... Inikah yang dinamakan cinta?'.
"Ayah tahu semuanya..." Suara sang ayah menghancurkan lamunan Alvan.
"Maksud ayahh...?" Alvan terdiam lalu memikirkan apa yang barusan ia katakan dalam hati 'apa ayah tau aku bilang gitu tadi? Gimana kalau nanti aku di bilang gila?' batinnya.
Suasana di rumahnya amatlah menegangkan namun entah kenapa otak Alvan malah random memikirkan hal yang mustahil, jika saja keluarganya bisa mendengar apa yang ia pikirkan mereka pasti akan mencoret Alvan dari kk.
"Hm... Ayah udah nyiapin surat mutasi kamu, besok kita semua pindah dan ayah sudah siapin semuanya... Jadi berhenti berhubungan dengan teman laki laki di kelasmu itu..." Ucap sang ayah.
Alvan terdiam lalu ia tersadar jika ayahnya sadar akan hubungannya dengan Nathan, bukan apa yang ia pikirkan. Beberapa menit setelah mencerna perkataan sang ayah, Alvan baru menyadari jika seharusnya ia merasa kecewa karena esok ia tidak dapat bertemu dengan kekasihnya lagi.
"Ayah... Alvan mau disini... Please..." Alvan mencoba membujuk sang ayah namun keputusan ayah sudah bulat.
'hahahaha.... Mereka tidak memedulikan mu... Bagaimana jika ikut aku?'
* * *
Keesokan harinya, Nathan berangkat pagi seperti biasanya. Namun anehnya Alvan tidak kunjung datang membuat Nathan merasa kecewa, meski mereka tidak berjanji untuk bertemu namun jam jam sebelum sekolah di mulai sudah menjadi seperti kebiasaan bagi mereka untuk bertemu.
30 menit berlalu masih belum ada tanda tanda kedatangan Alvan, hingga akhirnya bel masukpun berbunyi.
"Ehhh... NATH! NATHANNN" teriak Alya sembari berlari mendekati Nathan.
"Eh ada apa Al?" Tanya Nathan sedikit terkejut.
"Alvan... RUMAHNYA KOSONG!" teriak Alya dengan wajah panik.
"Hah?? Lagi keluar kali..." Nathan mencoba berpositid thinking.
"WOY... ALVAN SEMALEM NGECHAT MINTA TOLONG JAGAIN ELO TERUS PAS PAGI GUE SAMPERIN RUMAHNYA MALAH DI GEMBOK, GUE TERIAK TERIAK JUGA GA ADA SATPAM!" Alya sudah terbakar dengan perasaannya sehingga ia sulit mengatur dirinya.
"Dia ga ngabari gue..." Nathan memperhatikan ponselnya dengan wajahnya yang masam.
Sakit sekali hatinya, ia merasa di jatuhkan ke dalam jurang tanpa kepastian. Iya sangat bingung harus bagaimana, air matanya seolah olah hendak keluar namun ia tahan.
Tanpa berfikir panjang, Nathan segera bergegas lalu ia berlari menuju rumah Alvan. Dan benar saja, gerbang rumahnya di gembok dan lampu rumahnya menyala. Nathan masih mencoba berfikir positif.
"Ahh... Alya pasti cuma kepikiran aja, Alvan mungkin ada acara keluarga..." Nathanpun berbalik arah namun ia kembali terdiam.
"Pan... Kamu bakal balik kan?..."
Rasa khawatir mulai menyelimutinya, tubuhnya gemetar dan tak lama kemudian terdengar Isak tangis yang tidak bisa ia tahan.
* * *
Sudah seminggu berlalu, Nathan tidak mendapat kabar apapun dari Alvan. Hatinya masih amat sangat cemas, wajah cerianya tidak lagi terlihat. Kelas yang ramai terasa sunyi baginya, hatinya sangat sakit.
"NATH..." dan lagi lagi itu adalah teriakan Alya.
Nathan diam sembari menatap Alya seolah olah ia tidak ingin berbicara.
"Lo harus liat... Ini keluarganya Alvan... Mereka semua kecelakaan di pesawat..." Ucapan Alya membuat Nathan terkejut dan segera mengambil ponselnya.
"Tantenya Alvan bilang, dia naik pesawat ini sama keluarganya ke Malaysia..." Alya mengenal baik keluarga Alvan sebab ia sangat mudah berteman dengan siapapun.
Nathan terdiam masih tidak percaya namun beberapa saat kemudian guru masuk ke kelas.
"Pagi anak anak... Kalian tau kabar kecelakaannya pesawat yang kecelakaan tadi dini hari kan?... Sayang sekali salah satu siswa disini beserta keluarganya menaiki pesawat itu... Jadi..."
Nathan sangat terkejut mendengar perkataan sang guru seolah olah mengkonfirmasi jika Alvan berada di dalam pesawat, Nathan segera berlari menuju kamar mandi lalu ia mencuci mukanya berharap ia bangun dari mimpi tersebut.
"Tidak...."
"Aku harus bangun..."
"Ga mungkin..."
"ENGGAKKKKK!!!!!"
Bersambung ~~~~

KAMU SEDANG MEMBACA
who?
Roman d'amourterkadang keluargaku membuatku seakan akan tidak bisa bernafas, setiap hari aku selalu merasa cemas karena tekanan yang aku dapatkan. namun, saat itu dia hadir. "haii", ia menyapaku dengan senyuman seolah olah seseorang yang tidak memiliki beban keh...