Hai, maaf saya rombak ulang cerita ini.
⚠️ JANGAN SKIP NARASI⚠️
Narasi juga berperan penting dalam sebuah cerita.
Perhatikan dalam membaca, ya!
Take it easy while reading 💚Tandai typo!
Happy reading
Tengah malam di tengah guyuran hujan deras, melanda kota Jakarta. Jalanan sepi, tak ada seorang pun yang melewati jalan itu, hujan semakin intens beserta angin yang berhembus, tidak ada tanda-tanda reda. Biasanya, dalam cuaca seperti ini, kebanyakan orang memilih untuk berlindung di bawah selimut hangat atau menikmati secangkir coklat panas untuk mengusir dingin. Namun, di tengah malam yang gelap dan hujan yang tidak kenal ampun, terdapat seorang bocah laki-laki berusia 4 tahun yang masih terus melangkah tanpa arah.
Tubuhnya menggigil kedinginan, kedua tangannya yang memeluk erat tubuh kecil itu sendiri. Pakaian basah yang melekat erat pada tubuhnya memberi kesan betapa bocah tersebut telah terus berjalan tanpa arah, berjuang melawan hujan yang terus mengguyur tanpa henti.
Matanya mengelilingi jalanan dengan harapan menemukan tumpangan, namun sia-sia. Tidak ada kendaraan atau orang lain yang melintas di jalanan, terutama dalam cuaca hujan deras seperti ini. Dengan tatapan hampa, pakaian bocah itu kusut dan basah tanpa alas kaki. Dengan langkahnya yang pincang, ia tetap melanjutkan perjalanan. Dalam kesendirian yang menyelimuti, air mata tak henti mengalir, mengingat bagaimana mereka dengan sadisnya membunuh tubuh kedua orangtuanya yang di kurung di dalam sebuah tong besar.
Dalam hati, ia berharap ingin kembali ke rumah, namun langkahnya terasa terikat. Terus berjalan dengan kaki yang terasa hampa, ia memohon dalam hati untuk bertemu dengan seseorang yang berbelas kasihan. Sakit yang menusuk kepala dan bayangan yang menghantuinya terus mengusik pikirannya.
Langkahnya tertatih-tatih seakan menjadi tarian kegelapan yang menyelimuti dirinya. Dalam keheningan malam yang dingin, berbagai pikiran dan doa-doa terucap dalam benaknya. Terdengar degupan jantung yang semakin cepat, kekhawatiran yang menyusup begitu dalam. Meskipun tubuhnya lemah di jalanan yang sepi, harapan terus bersinar di dalam hati kecilnya untuk dapat bertahan dan menemukan kembali kehangatan kasih kedua orangtuanya.
Bruk!
Tubuh kecilnya ambruk di tepi jalan, tak sanggup lagi menopang beban kelelahan itu. Kepalanya terkulai, diiringi dengan air mata yang tak tertahankan, bercampur dengan rintik hujan. Tangisnya yang meluluhkan hati terdengar sayup, menimbulkan simpati bagi siapa pun yang mendengarnya.
"A-abang ... Mereka jahat, mereka pembunuh," ucapnya di sela-sela isak tangisnya. "Abang, adek butuh Abang ...."
Kepalanya terangkat saat cahaya terang membutakan matanya dari arah depan. Klakson mobil berteriak meminta agar ia bangkit dari tempatnya. Udara dingin menyelimuti dirinya, dan ia hanya bisa melihat ke depan dalam diam, kemudian kembali menundukkan kepalanya. Jika saat itu adalah akhir dari perjalanannya, ia berharap bisa bertemu kembali dengan kedua orangtuanya, begitulah yang terlintas dalam benak anak itu.
Tin! Tin! Tin!
Anak itu tak bergerak, masih terdiam di tempat. Kepalanya semakin pening ketika cahaya yang semakin menyilaukan mata itu, sedangkan suara klakson mobil masih terus berseru. Belum sempat mobil mendekat, pusingnya kembali menyergap dan kegelapan pun menjemputnya, tubuhnya pun lunglai di permukaan aspal.
"Astaghfirullah! Mas! Dia pingsan, Mas!"
"Ayo bawa ke rumah sakit!"
Hanya itulah yang mampu dihelat oleh anak itu sebelum dirinya benar-benar tidak mendengar suara lagi.
To Be Continued
I'm back ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Leno Alendra [New Version]
Teen FictionHasil rombakan! 100% berbeda dengan alur yang dulu. Ini adalah kisah tentang Leno Alendra, atau yang akrab disapa Leno, seorang pemuda berusia 17 tahun yang hidup sendirian di kota besar Jakarta. Leno, yang sering terlihat memakai kacamata, adalah s...