Prolog

29K 650 36
                                    

“Maaf ibu, jika anda tidak bisa membayar silahkan cari sekolah yang lain saja.”

“Saya bisa bayar tapi tidak bisa sekarang, Pak. Saya mohon, cucu saya ingin bersekolah disini. Saya mohon terima dia.” kata Nek Amira dengan mata berkaca-kaca, tangannya menyatu sebagai permohonan.

Melihat itu, tentu saja Neta tidak tega. Perilaku Neneknya itu sungguh menyayat hati kecilnya. Bagaimana bisa Neneknya berlutut mohon seperti itu hanya demi dia bersekolah disini?

Neta memegangi tangan Nek Amira dengan lembut. “Nek, Neta gapapa kok kalo ngga diterima. Kita pulang aja, ya? Neta bisa cari sekolah yang lain.”

Nek Amira lantas menatap cucu kesayangannya itu. “Nenek tau perasaan kamu, Ta. Nenek ngga bisa liat cucu nenek sedih karena impiannya bersekolah disekolah terkenal sejak dulu ngga bisa tercapai.” tutur Nek Amira.

“Itu impian udah lama, Nek. Neta sekarang udah ngga ngarepin itu lagi. Sekarang kita pulang ya,” Neta memegang erat tangan Nek Amira.

Nek Amira menatapnya beberapa detik, lalu setelah itu beralih pada sosok laki-laki yang Neta diketahui dia kepala sekolah.

Tatapan Nek Amira tidak berubah. Masih berkaca-kaca dan memelas, berharap kepala sekolah itu dapat mengasihaninya. “Pak, cucu saya pintar. Disekolah lamanya dia dapat prestasi terus, dia ikut olimpiade dan menang. Kenapa tidak bisa diterima? Apa kekurangannya, Pak?”

“Saya ulangi perkataan saya. Sekolah ini menggunakan sistem pembayaran dahulu baru diterima. Kalo cucu anda mau diterima disini, anda harus membayar uang sekolahnya. Itu sudah aturannya.”

“Pak, saya bilang akan—”

“Biar gue yang bayar.”

Nek Amira tak menyelesaikan ucapannya karena terpotong oleh seseorang. Menoleh ke arah pintu ruang kepsek, mendapati anak laki-laki yang sedang berdiri disana.

Anak itu menatap Nek Amira sebentar, lalu beralih pada Neta dengan lamat. Kakinya menyilang dibawah, tangan bersedekap dada, dan tubuhnya ia serongkan dan menyanggah di dinding.

“Cewek ini mau sekolah disini tapi ngga punya duit?” ucap Seno meremeh dengan angkuh. Ia berjalan masuk ke dalam, memasukkan kedua tangan ke kantong celana kotak-kotak khas SMA Merpati.

“Orang miskin ngga pantes sekolah disini, harusnya nih cewek udah tau. Tapi karena orang tua itu mohon dengan ngga tau malu, gue jadi kasihan ngeliatnya.”

Seno menatap Pak Cakra dengan datar. “Gue bayarin dia.”

“Tapi Seno, orang tua kamu harus tau hal ini.”

“Ngapain? Emang gue pake duit mereka? Cih,” Seno menengok Neta lagi, lalu ke Nek Amira, setelahnya dia tertawa kecil.

Seno membalikkan tubuhnya, mengambil ponsel disaku celana, lalu memainkannya beberapa menit.

Memasukkan kembali ponsel itu setelah urusannya selesai. Menoleh ke samping kiri, menatap Pak Cakra lewat ekor matanya. “Terima dia. Soal transfer gampang.”

“Engga usah.” Neta menyahut ucapannya. “Makasih atas tawaran lo, tapi maaf, gue ngga bisa nerima.”

“Neta!” tegur Nek Amira, tidak terlalu keras. “Kamu ngga boleh nolak, ini kesempatan buat kamu.”

“Tapi, nek—”

“Ngga usah belagu, masih untung dibantuin.” ucap Seno dingin dan intimidasi.

“Seno,” panggil Pak Cakra menyelanya. “Uang kamu sudah masuk. Dan Neta, kamu diterima.”

Neta menatap terkejut. Dia menggenggam kuat tangan Nek Amira. Bingung harus bereaksi seperti apa. Merasa aneh, bahagia, sedih, dan tidak percaya.

Sementara itu, Seno keluar dari sana dengan senyuman miring terbit dibibir merah merona alaminya.

I found new game.

TBC.

haii prenn👋 selamat datang dicerita aku!

cerita ini murni fiksi dan jangan bawa di realife ya

semoga dari prolognya aja kalian udah suka hehe, jangan lupa vote and komen kalo udah baca!!! thankyou💞

——

SENOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang