SENO 21

8.3K 252 18
                                    

"Gue dulu punya kakak, Ta. Tapi belom sebulan, dia udah ninggal."

Kalimat yang keluar dari mulut cowok itu cukup mengejutkan Neta. Ia menatap iba pada Eza dari arah samping. Keduanya kini tengah berada di balkon lantai dua.

Wajah Eza terlihat sedih, namun cowok itu berusaha kuat tegar. Ia tertawa pelan sesaat setelah mengatakan kalimat itu.

"Itu yang buat nyokap gue jadi pengen punya anak cewek. Nyokap gue terpukul banget atas meninggalnya kakak, jadi wajar aja dia mau nganggep lo anak dia," Eza menatap langit biru cerah tanpa awan disana.

"Dia meninggal gara-gara apa, kak?" tanya Neta dengan hati-hati agar tidak menyimpang.

Eza mengangkat kedua bahu sekilas. "Nggak tau sih, tapi Mama cuma bilang dia nggak sehat. Tapi gue rasanya nggak percaya,"

Eza menyerong, menghadap Neta penuh. "Masa nggak sehat bisa meninggal?"

"Ya, bisa aja dia sakit, kan?"

Eza menarik napasnya. Kembali menghadap depan sambil mata mengedar pada langit. "Nggak tau lah."

"Mama bilang ulang tahun kakak dua hari lagi. Gue cuma bisa berharap semoga dia tenang di alam sana," Eza tersenyum pedih, seolah sedang menyampaikan pesannya melalui langit.

"Gue juga berharap gue bisa ketemu dia dalem mimpi, meskipun cuma sekali. Selama ini, dia nggak pernah tuh nyamperin gue. Apa dia nggak kenal gue kali, ya?"

"Mungkin belom waktunya aja. Atau enggak, dia udah pernah ada di mimpi kakak, tapi kak Eza nggak kenal karena kak Eza nggak tau mukanya kayak gimana."

Eza mengangkat sudut bibirnya. "Gue jadi pengen punya kakak. Gimana sih rasanya?"

Neta diam tak menjawab. Ia ikut menghadap ke depan dan melihat langit bersama Eza. Tanpa duga, Neta menghela napas panjang penuh sesak.

"Gue juga pengen punya orang tua. Gimana sih rasanya?"

Dibalik pintu balkon, Renna menghapus air mata yang sempat menetes kala mendengar semua pembicaraan mereka berdua.

Hatinya terasa sakit, terlebih Eza mengungkit persoalan kakaknya yang sudah meninggal. Renna benar-benar tidak kuat mendengar pernyataan itu meski bertahun-tahun sudah berlalu.

Wanita berpakaian kemeja putih itu menghela napas panjang. Mengerjapkan matanya yang masih memanas, lalu menggusar wajah.

Ia menatap punggung Eza. "Maafin Mama, Za."

•••

Seno berjalan menyusuri halaman rumah yang begitu semak karena rerumputan mulai tumbuh panjang. Tatapannya terlihat kosong melompong, seperti tak ada kehidupan disana.

Seperti orang bodoh yang tampak linglung, ia berhenti melangkah tak jauh dari sebuah bangunan kecil yang sudah lenyap di atas permukaan tanah.

Cowok itu berkedip sekali, lalu seperti baru tersadar dari acara tidur. Ia memandang keliling sekitarnya dengan kebingungan yang tercetak jelas.

"Gue ngapain disini?" tanya ia terlihat terkejut dengan keberadaannya.

Kemudian cowok berouter hitam dengan kaos putih membaluti tubuh itu memandang kayu-kayu yang sudah menghitam karena hangus terbakar.

"Sial," umpatnya pelan merasa tau dimana tempat ia berdiri saat ini.

Seno berbalik badan. Tepat saat itu, seorang pria dengan pakaian sederhana dan cukup kampungan mendatanginya.

"Temennya Neta, ya?" tanya Om Tana.

Seno mendengus kasar. Ia melengos ke samping, menghindari kontak mata dengan pria itu. "Bukan."

"Kalo bukan kenapa kamu pergi kerumahnya?" Om Tana mengernyit kebingungan.

"Salah alamat." tak ingin berlama disitu, Seno langsung melanjutkan langkahnya meninggalkan Om Tana.

"Dasar anak muda. Gengsinya selangit," kata Om Tana bergeleng-geleng.

Seno dapat mendengar dengan jelas. Ia terhenti lagi, berdecak singkat. Kemudian memutar tubuhnya menghadap belakang.

"Tinggal dimana sekarang dia?"

"Loh, katanya bukan temennya? Kok malah nanyain—"

"Buruan jawab, bego!" tekan Seno marah.

"Astaghfirullah," Om Tana mengelus dadanya pelan. "Saya nggak tau lah. Kamu pikir saya bapaknya?!"

Seno ingin membalas perkataan pria itu, tetapi ia urungkan. Sambil menghela napas berat, Seno langsung pergi.

"Dasar anak kurang ajar!" kata Om Tana sedikit kesal.

Seno membuka pintu mobil, masuk ke dalam dan menutupnya kasar hingga menimbulkan suara keras.

Ia memukul stir mobil dengan perasaan bercampur aduk. Seno tidak tau mengapa ia berada disini, lebih tepatnya berkunjung ke rumah Neta yang sudah jelas habis terbakar.

Bahkan ia sempat meminta lokasi rumah Neta dari Saka. Sebenarnya apa yang terjadi pada cowok itu? Padahal ia sendiri tidak ada niat dan tujuan pada Neta.

TING

Sebuah pesan masuk. Seno lekas mengambil ponsel di atas dashboard mobil dan memeriksa.

Eros : Ga masuk sekolah, Sat?

Seno mengabaikannya. Ia hendak mematikan ponsel, namun urung karena tiba-tiba ia teringat sesuatu.

Ia membuka aplikasi WhatsApp dan menggulir untuk mencari kontak disana. Sampai akhirnya, cowok itu menemukan sebuah nomor tanpa nama.

Seno memencet kontak tersebut, lalu menampilkan room chating. Nomor itu milik Neta yang sengaja tidak ia beri nama.

Seno terdiam, mencoba berpikir ribuan kali. Namun, detik berikut ia langsung tersadar dan melempar ponsel di kursi samping kemudi.

"Sialan! gue ngapain, Anjing?! Nggak, nggak! Gue gak peduli sama cewe itu!"

Seno menyalakan mesin mobil, melaju dengan kecepatan tinggi. Pikirannya terlalu berisik dan bertanya-tanya keberadaan Neta.

Tidak! Seno menepis semua tentang Neta di otaknya. Ia benci, benar-benar benci pada situasi ini.

TBC.

tinggalin vote! maaf lama update.

SENOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang