25 (motif satria balas dendam)

7.9K 549 14
                                        

Aku tersenyum tipis, sebuah smirk penuh kemenangan, sambil memandangi dokumen yang baru saja kudapatkan dari Arya. Dia telah berhasil menjalankan tugasnya untuk memata-matai bodyguard pribadi Aprian. Sebagai imbalan, aku memberikan informasi yang saat ini sangat diperlukan olehnya.

"Bang Ello, ini tidak salah?!" Arya terkejut, matanya terpaku pada dokumen yang kuserahkan.

"Itu informasi yang kudapatkan. Kau boleh percaya atau tidak, terserah kau saja, Arya," ucapku santai, tanpa menunjukkan emosi apapun.

"Berarti selama ini...?" Arya menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, penuh kebingungan sekaligus keraguan.

"Kau boleh menganggapku abangmu," ucapku, sambil memiringkan kepala sedikit, menantangnya untuk merespons.

"Kita kan tidak ada hubungan darah, Bang," lirih Arya, menundukkan kepala.

"Heh, kau harus belajar silsilah keluarga dulu. Kita sebenarnya ada hubungan darah," ujarku dengan nada ringan, namun sarat arti.

"Darimana?" Arya menatapku bingung, matanya menyipit penuh rasa penasaran.

"Cari tahu sendiri," jawabku singkat, sambil menyunggingkan senyum penuh misteri.

Arya mendengus kesal, wajahnya cemberut menatapku. Aku bangkit dari kursiku dan menghampirinya, kemudian menepuk kepalanya pelan. Sambil membungkuk sedikit, aku membisikkan sepotong fakta tentang silsilah keluarga kami.

"Bebas memilih jalan hidupmu. Aku tidak akan mengekang, begitu pula keluargaku," kataku dengan nada datar namun tegas. Aku melirik Arya yang tiba-tiba terdiam, mencerna kata-kataku. Tak lama kemudian, senyum lebar menghiasi wajahnya.

"Sepertinya kau telah memutuskan sesuatu yang besar," kataku, menebak isi pikirannya.

"Hehehe," Arya hanya tertawa kecil, menyembunyikan perasaan di balik tawa itu.

Aku meninggalkan restoran, menyadari bahwa ada meeting penting yang harus kupimpin sebagai pewaris utama perusahaan keluarga. Aku melangkah keluar dan menuju motorku sebuah motor sport baru, pemberian kakekku minggu lalu.

"Kau pewaris perusahaan, jangan terus-terusan menggunakan taksi. Itu merusak citra keluarga," kata Bram waktu itu dengan nada tegas.

Aku sendiri sebenarnya tidak masalah naik taksi. Namun, kakek Bram adalah tipe yang sangat peduli pada pandangan orang lain, terutama mengenai berita-berita miring tentang keluarga kami. Dengan helm terpasang sempurna, aku melaju menuju kantor, siap menghadapi tanggung jawab yang menantiku di sana.

Beberapa hari kemudian, aku sedang mengendarai motor sport berwarna hitam pilihanku sendiri saat Bram menawarkan motor baru. Bagiku, motor ini hanya alat transportasi, bukan untuk gaya, apalagi balapan liar. Aktivitas seperti itu hanya merugikan dan tak pernah menarik minatku.

Teriknya matahari memaksaku menutup kaca helm full-face. Rasen pernah bilang aku terlihat "eksotis," dan anak itu bahkan sering memotreti diriku diam-diam, terutama saat aku sedang tidak memakai atasan. Foto-foto itu dikirimnya ke sahabatnya. Benar-benar adik kurang ajar untung aku menyayanginya.

"Pulangnya beli cokelat buat Rasen dan pacarku saja," gumamku sembari melaju.

Perjalanan menuju kantor terhambat macet dan rintik hujan. Sesampainya di lobi kantor, aku mendengar keributan. Saat memasuki pintu utama, aku melihat Satria tengah memarahi resepsionis dan bahkan menghina fisiknya.

"Usir Satria Pratama dari kantorku!" perintahku tegas kepada kedua satpam yang berjaga.

"Anak kurang ajar akhirnya datang," sindir Satria sambil menatap tajam ke arahku.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang