Naruto©Masashi Kishimoto
-
-
Loker kuning di belakang kelas itu sudah sering Hinata datangi, seperti saat ini, mengambil buku materi dan siap menggelutinya sampai jam istirahat selesai. Ini sudah menjadi rutinitas. Kantin adalah pilihan kedua setelah belajar, dan Hinata jarang pergi ke tempat sesak itu.Kini dia sudah siap membaca dan memahami seluruh isi dari buku, mengeluarkan pena, mencari posisi senyaman mungkin pada bangku miliknya. Ada alasan mengapa ia melakukan sejauh ini. Menjadi nomor satu adalah targetnya. Tapi orang yang menduduki peringkat itu tidak sembarangan, Hinata jelas-jelas hampir meledakkan otak demi mendapatkan posisi tersebut.
Mata lavendernya menatap ke depan. Hinata bisa melihatnya di barisan kedua dekat jendela. Namikaze Naruto. Menjabat sebagai ketua kelas dan menjadi siswa terpintar di sini, itu cukup membuat Hinata kewalahan. Jika dibandingkan, Hinata yang paling bekerja keras diantara mereka berdua. Sementara pemuda pirang itu bersantai dengan musik dari earphonne-nya. Perbedaan yang mencolok, itu menunjukkan bahwa Naruto tidak mudah dikalahkan. Tapi ada sisi baiknya juga. Kalau dia terus-terusan bersantai, di saat lengah Hinata akan menyalip dan beranjak dari peringkat kedua. Ia cukup percaya diri akan hal itu. Tanpa sadar bibirnya tersenyum tipis.
Setelah jam makan siang kini waktunya pelajaran olahraga. Semua murid kelas 2-1 mengeluh karena Iruka-sensei tak juga memberi keringanan, mereka masih berusaha menawar sepuluh kali putaran menjadi lima kali keliling lapangan. Keringat mereka cukup membuktikan tanda menyerah, tapi sensei menyebalkan itu bebal, susah di ajak kerjasama.
Kalau boleh, semua murid ingin bertukar dengan Hinata yang duduk manis di sisi lapangan, padahal gadis itu tengah susah payah mengatur napas. Di putaran keempat dia menyerah, sesuatu di dalam dadanya kembali berulah tanpa tahu tempat. Beruntung, Iruka-sensei masih berbaik hati, karena ini bukan pertama kalinya bagi Hinata.
Ino dan Temari. Kedua teman dekat Hinata perlahan saling berlari beriringan. Mereka ingin menyinggung soal kejadian tadi.
"Aku khawatir. Sakit di dadanya pasti bukan karena sekedar jatuh." Masih dengan mengatur napas, Ino menggoyangkan rambut kuncir kudanya yang menyelip diantara leher.
Beruntung, rambut kuncir empat Temari masih aman meski sedikit panas karena keringat. "Dia sudah menjelaskannya. Luka semacam itu memang sembuh agak lama. Aku juga pernah mengalaminya."
"Di tempat yang sama?" Ino menatap tidak percaya.
Temari berdecak. "Perlu aku perjelas?" gadis itu berlalu meninggalkan Ino jauh di belakang tanpa mau membahas lebih.
Ino hanya berdecih di sana. Kebetulan dia sempat melihat tempat Iruka-sensei. Kesempatan bagus! Pria tua itu sedang fokus mengurusi bola basket yang akan digunakan untuk pembelajaran nanti. Sangat mudah baginya melipir ke sisi lapangan, duduk menghampiri Hinata.
"Bagaimana? Sudah baikan?" terlepas dari rasa lelah Ino tak melupakan satu hal penting itu.
Hinata tersenyum. Sesaknya masih ada, setidaknya sekarang jauh lebih baik. "Sudah."
Gadis pirang itu sedikit mencuri pandang ke arah Iruka. Tidak peduli walaupun didelik oleh beberapa teman sekelas yang masih menyelesaikan sisa putaran. Dia juga heran, tumben Temari bersemangat mengikuti pelajaran olahraga. Ino tidak mau repot mengundangnya untuk duduk bersama. "Kau masih mau lanjut?"
Hinata mengangguk. "Tentu. Aku harus mendapat nilai non-akademik dengan sempurna!" diam-diam mata lavendernya melirik sosok jangkung berambut pirang yang dengan lihai memainkan bola basket di tengah lapangan.
Ino menggeleng heran. Memang begitu kenyataannya. Hinata sangat bersemangat perihal nilai, namun tidak ada yang tahu alasannya? Baik Ino maupun Temari, mereka hanya tahu, Hinata itu gadis pekerja keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
NUMBER ONE
RomancePeringkat satu bukan sekedar ambisi untuk Hinata. Dia rela menggunakan jam makan siang untuk belajar, mengunjungi perpustakaan lebih sering setiap harinya, bahkan selalu bergelut dengan berbagai buku penuh rumus. Dan itu semua untuk satu hal kecil...