Villa

16 3 1
                                    

"Gue kok ngerasa ada yang nggak beres," gumam Fatih. Bulu kuduknya berdiri. Dia mengamati suasana sekitar warung. Dina dan Cici sudah memesan sesuatu. Penjual di warung itu adalah seorang nenek tua. Tubuhnya sedikit membungkuk. 

"Nek, maaf saya mau tanya. Apa benar ini jalan menuju candi belahan?" Galang membuka suara. Fatih tidak ingin memesan sesuatu. Selera makannya hilang seketika melihat perabotan masak di warung tersebut mirip dengan perabotan zaman dahulu.

Nenek tua itu tidak langsung menjawab. Dia mengamati semua pembeli di warungnya. Kemudian menunduk lagi.

"Kalian mau apa ke sana?" tanya Nenek. Suaranya serak-serak parau.

"Kami mau penelitian, Nek," jawab Dina. Tangannya sibuk membenarkan kuciran rambutnya yang berantakan.

"Benar. Ini adalah jalan pintas menuju candi belahan. Tidak lama lagi kalian akan sampai. Sebaiknya kalian lanjutkan perjalanan besok pagi saja. Sekitar dua kilometer dari sini kalian akan menemui villa sederhana. Menginaplah di situ untuk sementara waktu." Nenek menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi.

"Memangnya kenapa, Nek?" tanya Fatih memberanikan diri.

"Malam ini adalah malam satu suro. Tidak ada yang boleh keluar dari desa kecuali saat acara itu dimulai," jawab Nenek sambil memberikan sepiring nasi soto pesanan Cici.

"Acara itu? Acara apaan, Nek?" tanya Fatih. Lelaki sawo matang itu semakin yakin bahwa perjalanannya nanti tidak beres.

"Nanti akan ada acara topo bisu. Mulai matahari terbenam, semua orang dilarang berbicara," jelas Nenek. "Kamu mau makan apa, den bagus?"

Fatih gelagapan ketika Nenek sudah ada di depannya. Lelaki itu segera mengucek kedua matanya. Dia tidak yakin apa yang dilihat barusan. Mata Nenek itu berwarna biru.

"Sa.. saya tidak memesan apa-apa, Nek," jawab Fatih terbata-bata.

"Emang kamu kagak lapar, Fat?" tanya Dina.

"Ng.. nggak kok. Aku masih kenyang. Habis makan roti dari Cici tadi." Fatih mengelak. Dia semakin gelisah. Jam di pergelangan tangannya menunjuk pukul sebelas lebih sepuluh.

Galang melihat kegugupan Fatih. Dia ingat mimpinya semalam, sehingga sedikit takut untuk melanjutkan perjalanan. Lelaki itu melihat berapa jam lagi mereka akan sampai. Masih empat kilometer lagi.

Mereka melanjutkan perjalanan setelah selesai makan. Fatih masih merasa lapar karena memang dia tidak selera makan semenjak melihat kondisi warung.

"Lo sebenernya kenapa sih, Fat?" tanya Galang.

"Nggak papa, kok," elak Fatih.

"Sebenernya..." Galang menceritakan mimpinya semalam. Fatih diam membisu. Dia sudah menduga dan menerka-nerka apa yang akan menimpa mereka nanti.

Mereka berempat segera masuk mobil. Galang tetap memegang kemudi. Mobil perlahan meninggalkan lokasi. Secara tidak sengaja Fatih melihat dari spion.

"Tidak ada warung?" gumamnya. Dia segera melongokkan kepala ke luar jendela.

Benar. Warung tempat mereka singgah beberapa menit lalu telah hilang. Tempat itu seperti tidak pernah berdiri sebuah bangunan. Lalu warung tadi….

"Lo cari siapa, Fat? Apa ada yang ketinggalan?" tanya Dina.

"Nggak, kok," elak Fatih.

"Lo aneh banget dari tadi." Cici menyahut. Tangannya sudah membuka bungkusan roti sobek.

"Eh gue laper banget, minta," ucap Fatih. Dia meroyok roti di tangan Cici.

"Tadi Lo bilang nggak laper. Sekarang ngeroyok makanan orang," sungut Cici.

"Stt, diem Lo." Fatih segera melahap roti sobek.

"Eh, maksud Nenek tadi berarti kita harus nginep di villa dulu?" tanya Cici pada Dina.

"Kayaknya sih gitu. Tapi mana ada villa di tengah hutan kayak gini?" sahut Galang.

"Terus apa maksud Nenek tadi bilang topo bisu?" tanya Dina.

"Setahu gue, topo bisu itu berarti semua orang tidak boleh bicara. Ya masuk akal sih. Kalau kita tetap melanjutkan perjalanan ke desa tempat candi belahan, kagak bakal ada yang bisa diajak bicara. Mending kita ikut saran Nenek tadi. Cari villa." Fatih menjelaskan.

"Kurang berapa jam lagi nih, Lang?" tanya Dina.

"Kalau melihat dari monitor, kira-kira dua jam lagi sepertinya ada pemukiman." Galang mengotak-atik monitor. Tangan kanannya tetap memegang setir.

"Badan gue udah pegel-pegel, nih." Cici meliuk-liukkan badannya.

"Lo dari tadi tidur udah keok, gue dari tadi pagi nyetir Sampek sekarang masih strong," ucap Galang. Tangannya kirinya menggenggam dan diacungkan ke atas memperlihatkan otot-ototnya. Mirip seperti popay.

"Yeee, Lo kan emang suka kluyuran. Tiap hari kelayapan nggak jelas. Pantes aja nggak punya capek," omel Cici.

"Udah-udah. Mending Lo tidur lagi daripada ngomel Mulu." Dina menghentikan perdebatan.

Suasana kembali hening. Pinggir jalan masih dikelilingi pohon besar. Tidak lama kemudian terlihat sebuah villa berdiri megah. Galang segera membelokkan mobil ke pelataran villa.

Bangunan villa sangat sederhana. Tidak ada lantai dua. Nuansa zaman dahulu masih melekat di setiap perabotan. Ada dua mobil dan beberapa sepeda motor terparkir di halaman.

"Kita beneran mau menginap di villa?" tanya Dina.

"Kita nanti menginap di rumah penduduk saja. Mungkin satu jam lagi sampai. Sekarang istirahat dulu sebentar. Mandi kek, makan kek, atau Lo mau renang juga gak apa-apa," jelas Galang.

"Tapi kata Nenek tadi kita harus nginep sini." Fatih menyahut. Dia segera membuka pintu mobil dan keluar.

"Nanggung, Fat. Sekalian kita ntar lihat-lihat bagaimana acara topo bisu itu," jawab Galang.

Semua setuju usulan Galang. Mereka segera menuju tempat resepsionis. Pertama masuk mereka disuguhkan dua patung macan putih. Mulutnya menganga seperti sedang kelaparan. Atapnya berbentuk limas. Ada arca-arca mini dan lukisan abstrak. Sudut kanan ruangan ada pot besar. Banyak benda-benda terbuat dari batu. Satu hal lagi, tidak ada pak satpam yang jaga di depan villa tadi.

Fatih sudah merinding. Dia mendongak ke atas. Lampunya redup. Lampu klasik zaman dahulu yang entah umurnya berapa.

Angin berembus kencang. Seketika mendung menyelimuti sekitar villa. Padahal tadi cerah. Mereka juga tidak menemukan satu orang resepsionis.

"Aneh," gumam Fatih.

Bersambung…

Teror Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang