Roti Burger

19 3 0
                                    

"Dinaa! Bangun, dong!" teriak Cici lebih kencang. Dina mengucek-ngucek kedua matanya. Cici melihat cermin besar yang sedikit bergoyang.

"Aaaa...."

Cici berteriak, kedua tangannya menutup wajah. Sosok hitam besar muncul dari dalam cermin. Makhluk bermata merah itu mendekati Cici. Semua kukunya panjang dan hitam.

"Woi, kenapa teriak-teriak begitu? Ganggu orang tidur aja," omel Dina. Cici membuka kedua tangannya. Nihil. Makhluk menyeramkan tadi sudah lenyap entah ke mana. Badan Cici gemetar. Wajahnya pucat pasi.

"Lo kenapa, sih? Kayak habis lihat hantu aja?" tanya Dina.

"Ta…tadi ada…." Cici gelagapan. 

"Ada apaan, sih?" tanya Dina penasaran. Kepalanya celingukan ke sana ke mari. 

"Mending kita check out sekarang aja, deh," usul Cici.

"Baru aja dua puluh menit." Dina melihat jam tangannya. "Gue mau mandi dulu," ucapnya kemudian. 

"Jangan, dong, gue takut sendirian," rengek Cici. Hujan di luar sedikit reda, tapi angin masih berembus kencang.

""Terus? Lo mau ikut gue mandi?" Dina mencari handuk di dalam tasnya. Dia segera menuju kamar mandi tanpa mempedulikan Cici yang sedang ketakutan.

Duarrr

"Aaaa," teriak Cici. Suara petir bersahutan. Dia semakin ketakutan. Cewek berambut sebahu itu Sekar sudah di depan pintu kamar mandi.

"Dina!" Cici menggedor-gedor pintu. Dia semakin ketakutan.

"Dina! Cepetan, dong, gue takut, nih," ucap Cici gemetar. Petir yang terus menerus menggelegar serta kencangnya angin membuat suara Dina tidak terdengar dari luar. Cici semakin panik, dia segera ke luar kamar menuju kamar Galang dan Fatih.

"Galang! Fatih!" panggil Cici. Tangannya terus menggedor pintu. Kamar mereka berhadapan. Namun dipisah dengan sebuah lorong yang sangat panjang. Meski letak Kamar mereka paling depan, Cici bisa melihat keadaan sepanjang lorong yang gelap, sunyi, dan menakutkan. 

Tidak lama kemudian, Galang membuka pintu.

"Ada apa, sih? Ganggu orang tidur aja," ucap Galang. Lelaki itu mengucek-ngucek matanya.

"Gue takut, nih. Kita check out sekarang, yuk!" jawab Cici. Tubuhnya semakin merinding. 

"Hah, gila, Lo. Baru juga setengah jam udah minta check out," omel Galang. Tangan kirinya mengusap-usap rambut kepalanya yang terasa lepek. 

"Gue tadi…." 

Cici menceritakan pertemuannya dengan hantu hitam yang keluar dari cermin. Dia juga menceritakan kran wastafel yang tiba-tiba menyala padahal sudah dimatikan.

"Halah, Lo aja yang penakut. Mungkin Lo terlalu berhalusinasi. Bisa jadi lonkemakan omongan Nenek lontadi, jadi Lo ngerasa ketakutan begini." 

Galang hampir saja menutup pintu saat seorang laki-laki muda mendorong sebuah troli. Wajah laki-laki itu terlihat pucat. 

"Mbak, Mas, ini pesanan makanannya," ucap laki-laki yang berseragam seperti seorang pelayan. Dia memakai Hem biru yang ditutup dengan celemek hitam. Galang dan Cici kebingungan karena mereka tidak pesan makanan apapun. 

"Lo pesan apa?" tanya Galang.

"Gue nggak pesan apa-apa," jawab Cici bingung. "Fatih, mungkin. Atau Dina yang pesan," tebak Cici.

"Setiap pengunjung yang check in di villa ini otomatis juga memesan makanan pembuka, mohon diterima."

Laki-laki itu kemudian berbalik dan meninggalkan dua remaja yang masih kebingungan. Tak berselang lama, Galang membuka tudung saji dan mengambil beberapa tiga piring cemilan. Kemudian menutup kamar meninggalkan Cici begitu saja.

Cici tidak bisa mengelak kalau di depannya ada makanan. Rasa takutnya hilang seketika. Rasa lapar menyerangnya tiba-tiba. Dia segera mendorong troli ke dalam kamar. Dina sudah duduk di atas kursi yang terbuat dari rotan. Rambutnya terbalut handuk.

"Lo dari mana aja, sih? Itu apa yang Lo dorong?" tanya Dina. 

"Gak usah banyak tanya, ayo makan, gue udah laper," jawab Cici enteng seolah-olah lupa akan kejadian tadi.

Seakan lupa dengan rasa penasarannya, Dina segera menyomot makanan yang dibawa Cici. Mereka berdua asik menikmati menu yang tersaji. Hujan sedikit reda. Angin berhenti berembus. Tidak lama kemudian langit kembali normal. Cici membuka jendela. Dedaunan masih basah. Angin sejuk menerpa wajahnya. Dina memutar musik sambil rebahan di atas kasur.

[Lima belas menit lagi kita check out.]

Pesan dari Galang membuat Dina segera beranjak dari rebahan. Cewek yang juga berprofesi sebagai model tersebut memberi tahu Cici agar segera mempersiapkan diri.

Galang dan Fatih sudah menunggu di mobil. Dari kejauhan terlihat Cici sempoyongan membawa tas miliknya. Dia baru saja memborong jajanan yang di jual di samping tempat parkir.

"Lama banget kalian, dari mana aja, sih?" omel Fatih. Dia mendekap satu kresek roti pemberian dari villa tadi.

"Gue habis borong makanan, nih," ucap Cici. Dia membuka tasnya. Di dalamnya penuh snak dan minuman. "Buat bekal satu minggu nanti," lanjutnya.

"Ya udah, yok berangkat!" ajak Fatih. Dia lalu membuka bungkusan burger. Galang sudah memacu mobil keluar dari pelataran villa. 

"Hoekkk." Fatih memuntahkan rotinya. 

"Kenapa, Lo?" tanya Dina.

"Lihat, ini roti dari mas-mas tadi," ucap Fatih menunjukkan isi roti. Burger sebesar telapak tangan itu berisi belatung. Di atasnya ada saos yang ternyata darah.

"Berarti yang kita makan tadi apa?" 

Seketika mereka semua mual. Galang menghentikan mobilnya dan segera ke luar dari mobil. Muntah massal pun terjadi. Fatih paling parah. Mereka semua lemas. Hari semakin sore. Matahari hampir tenggelam. Setelah agak mendingan mereka melanjutkan perjalanan.

Satu jam kemudian mereka sampai di sebuah desa. Suasana desa sepi. Tidak ada satu orang pun yang terlihat. 

"Kita ke mana, nih?" tanya Cici khawatir. "Mau tanya siapa kalau sepi begini?" lanjutnya.

"Awas!"

Teror Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang