Telepon Nenek

19 4 3
                                    

Angin berembus kencang. Seketika mendung menyelimuti sekitar villa. Padahal tadi cerah. Mereka juga tidak menemukan satu orang resepsionis.

"Aneh," gumam Fatih.

"Ini beneran tidak ada resepsionisnya?" tanya Dina. Kepalanya celingukan ke kanan dan ke kiri.
"Iya, ya, mana resepsionisnya? tapi tadi di parkiran ada mobil sama sepeda motor. Berarti ada orang yang menginap di sini, tapi kenapa sekarang tidak ada satu orang pun?" Cici menyahut. Kemudian dia duduk di kursi yang terbuat dari anyaman bambu.

"Mbak, Mas, permisi," panggil Galang. Lelaki itu melongokkan kepalanya ke dalam meja berbentuk setengah lingkaran. Di atasnya hanya ada sebuah monitor beserta keyboard, vas bunga, dan kotak tisu.

Dina mendekati monitor. Cewek berambut lurus sepunggung itu mengamati monitor.

"Kayaknya gue tahu. Kita isi sendiri pendaftaran untuk masuk dan menginap di villa ini," ucapnya. Matanya tak lepas menatap layar. Tangannya lincah memainkan mouse.

"Jangan ngaco kamu, Din. Mana bisa seperti itu. Lagian ini di hutan." Fatih menyahut.

"Iya juga, sih." Dina masih menatap layar. Kedua tangannya berkacak pinggang. Tidak lama kemudian terdengar suara sepatu dari lorong kiri. Sontak mereka berempat menoleh ke sumber suara. Seorang pria berjas hitam bersama bersama satu wanita muda yang sepertinya itu istrinya. Pria itu menyeret sebuah koper besar hitam. Sedangkan wanita muda hanya menenteng tas.

"Maaf, Pak, Bu, saya mau tanya. Apa benar di sini tidak ada resepsionisnya?" Galang menghampiri kedua orang tak dikenal tersebut.

"Iya, benar, Mas. Di sini kita isi sendiri daftar pengunjung di monitor itu. Untuk pembayarannya nanti ada pemberitahuan setelah pengisian data." Lelaki paruh baya itu menjelaskan.
"Baik, Pak, terima kasih," ucap Galang. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Wih, canggih bener villa ini padahal di tengah hutan." Cici menyahut.
"Ya udah, Galang, lo kan pandai gadget, coba deh Lo aja yang daftar. Nanti kalau pembayarannya lewat rekening, pakai rekening gue aja."
"Gampang," jawab Galang  dia segera mengutak atik keyboard dan mouse. Tiba-tiba handphone Cici berdering.

"Tumben nenek telepon," ucap Cici. Dia segera keluar dari lobi dan mengangkat panggilan dari neneknya.

"Iya, Nek, ada apa?"
"Kamu sekarang di mana?" tanya Nenek.
"Cici lagi di villa, Nek."
"Nenek punya firasat tidak baik tentangmu."

Deg

Jantung Cici berdebar tak karuan. Matanya memperhatikan suasana sekitar villa.

"Memangnya kenapa, Nek?" tanya Cici. Keringat dingin memenuhi dahinya.

"Kamu ingat weton lahir kamu?"

"Hmm… kalau nggak salah hari sabtu Pahing, Nek," jawab Cici sambil mengingat-ingat.

"Benar, Nduk. Sabtu pahing itu hari ini. Orang yang lahir di weton Sabtu pahing tidak boleh keluar di malam suro." Nenek menjelaskan. Nadanya seperti khawatir.

"Tapi Cici udah nyampek di sini, Nek. Kan nanggung kalau mau pulang."

"Kamu tidak usah pulang. Menginap saja di villa itu. Besok pagi, baru lanjutkan perjalanan kamu."

Setelah berbasa-basi sebentar, Cici mematikan telepon. Dia mulai merasakan hal ganjil mengintai dirinya. Angin semakin kencang. Gerimis mulai turun. Pohon kelapa di depan villa bergoyang seperti hendak roboh. Cici segera masuk menemui teman-temannya.

"Gaes, sepertinya kita harus menginap di sini, deh," ucap Cici.
"Kenapa? Baru aja bayar sewa buat lima jam." Dina manyahut. Cici kemudian menceritakan percakapan antara dia dan neneknya.

"Ya udah gini aja, kita istirahat di sini sebentar saja, terus kita langsung menuju desa. Kita menumpang di rumah penduduk desa. Soalnya biaya menginap di sini mahal. Kalau kita menginap di sini, gue nggak yakin uang kita cukup buat seminggu nanti." Dina menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi. Dia juga memperlihatkan struk pembayaran sewa istirahat mereka yang hanya lima jam ke depan.

"Ya udah kalau gitu. Aku ikut kalian aja," jawab Cici pasrah.

"Berarti kita istirahat tiga jam aja, cukup, kan?" tanya Galang.

"Cukup-cukup aja kalau cuma mandi dan makan." Fatih menyahut.

Galang segera mengotak atik keyboard dan mouse lagi. Dia mengganti durasi sewa di villa. Setelah beres, mereka menuju lokasi yang sudah di intruksikan dari monitor. Di luar villa, hujan sangat deras. Petir menyambar bersahutan.

Mereka menyewa dua kamar. Satu kamar buat Fina dan Cici. Satu kamar buat Galang dan Fatih. Setelah sampai, Dina segera merebahkan badannya di atas kasur. Matanya terasa berat. Dina tertidur.

Kamarnya lumayan luas. Ada cermin besar yang pinggirnya dihiasi ukiran kayu. Cici membuka gorden penutup jendela. Jendelanya penuh dari atas sampai bawah. Di luar terlihat hujan semakin deras. Cici segera ke kamar mandi. Dia merasa ada yang mengawasi. Pintu kamar mandi tidak dia kunci. Tiba-tiba lampu kamar mandi redup. Karena tidak ingin berlama-lama, dia langsung melepas pakaiannya dan mandi. Tidak lama kemudian lampu berkedip-kedip mirip di diskotik. Cici semakin ketakutan. Dia menyudahi mandinya. Tanpa memakai handuk, dia segera memakai pakaiannya kembali. Ketika akan membuka pintu, ternyata pintu terkunci.

"Kok bisa terkunci, sih. Padahal tadi nggak aku kunci." Cici menggerutu. Tangannya yang licin membuat dia kesulitan memutar kunci. Baru saja pintu terbuka, kran wastafel tiba-tiba menyala. Cici segera kembali dan mematikan kran. Setelah itu dia lari ke luar.

"Dina!" Panggil Cici. Sepertinya Dina sangat kelelahan. Tidurnya lelap sekali.

"Dinaa! Bangun ,dong," teriak Cici lebih kencang. Dina mengucek-ngucek kedua matanya. Cici melihat cermin besar yang sedikit bergoyang.

"Aaaa…."

Bersambung…

Teror Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang