Kembali

18 2 0
                                    

Mereka berdua terus bertengkar. Dina tidak mau mengalah. Galang juga tidak mau disalahkan. Perdebatan berhenti ketika seseorang membuka ruangan mereka.

Dua orang laki-laki berpakaian seperti prajurit memasuki ruangan. Galang dan Dina segera berdiri. Tentu saja tanpa alas kaki. Dua prajurit itu mengisyaratkan agar Galang dan Dina segera keluar dengan tertatih-tatih. Pengaruh bius membuat mereka berdua sedikit pusing. Mereka berempat berjalan menuju istana Raja Airlangga.

Di istana terjadi pertarungan sengit antara Pak Cokro dengan Raja. Awalnya Pak Cokro berhasil mengalahkan beberapa prajurit. Namun setelah Raja ikut andil, Pak Cokro menjadi kewalahan. Tenaganya yang sudah terkuras melawan prajurit serta usianya yang tidak lagi muda membuat juru kunci Candi Belahan tersebut kelelahan. Galang yang melihat adegan tersebut menjadi tertantang. Dia pernah mengikuti pelatihan bela diri meski hanya dua tahun. Lelaki itu berniat membantu Pak Cokro. Namun dihalangi oleh Dina.

"Kasihan Pak Cokro, aku ingin bantu dia," ucap Galang. Dia sudah melepas ransel dan jaketnya.

"Jangan, emang kamu yakin bisa mengalahkan Raja?" cegah Dina. Tubuh wanita itu sudah gemetar.

"Gini-gini aku pernah ikut bela diri."

Galang membela. Dia tetap kukuh memilih untuk membantu Pak Cokro melawan Raja. Ransel dan jaket dia lempar ke arah Dina. Dina menangkapnya. Setelah itu Galang segera bergabung dengan Pak Cokro di arena.

Pak Cokro ingin mencegah Galang agar tidak usah ikut campur. Namun serangan Raja tidak berhenti. Pertarungan semakin pelik antara Raja melawan Pak Cokro dan Galang. Tiba-tiba Pak Cokro teringat akan titik kelemahan Raja.

"Galang, titik kelemahan Raja ada di telinganya," bisik Pak Cokro saat mereka sedikit berdekatan. Galang mengangguk. Mereka kembali bertarung. Namun badan Pak Cokro terasa semakin lemas.

"Kenapa badanku seperti tidak berenergi? Apa cincinku terjatuh?" gumamnya. Tangannya memegang pundak  yang sakit terkena pukulan Raja.

*****

Di hutan, Fatih baru menyadari bahwa Pak Cokro telah tumbang. Dia segera berlari mendudukkan tubuh Pak Cokro. Hari yang semakin gelap membuat Fatih tidak sadar bahwa cincin yang dipakai Pak Cokro telah terlepas.

Pak Santo yang mengetahui itu segera membantu Fatih. Tubuh Pak Cokro semakin bergetar hebat. Mendengar Pak Santo dan Fatih yang sedang ribut, Cici menjadi terbangun. Terseok-seok cewek itu menghampiri kedua orang yang sedang memegang bahu Pak Cokro. Dia berusaha membantu. Namun segera tersadar bahwa ada yang kurang dari tubuh Pak Cokro.

"Sebentar, sepertinya cincin Pak Cokro lepas satu."

Cici mengamati jari tangan Pak Cokro. Dia ingat saat menggandeng tangan Pak Cokro ketika di istana Raja. juru kunci tersebut memakai dua cincin, tapi sekarang hanya satu cincin yang tersisa di jarinya. Cici kemudian mengeluarkan senter dari ranselnya. Hari sudah sedikit gelap membuat wanita itu sedikit kesusahan. Pak Santo dan Fatih tetap memegangi Pak Cokro. Cici mengarahkan senter ke tanah di sekitar tubuh Pak Cokro mencari cincin.

"Nah, ketemu!" teriak Cici. Dia segera mengambilnya dan memakaikannya di jari Pak Cokro. Setelah itu tubuh Pak Cokro sedikit berhenti bergerak.

****

Pak Cokro dan Galang masih bertahan melawan Raja. Kini tubuh Pak Cokro seperti diisi sebuah kekuatan. Dia kembali menyerang Raja dengan tenaga lebih. Galang mengisyaratkan agar Pak Cokro mengelabuhi Raja dari depan. Sementara itu Galang akan menyerang dari belakang. Tidak lama kemudian….

Sret! Jleb!

Galang menancapkan paku di telinga Raja. Dia mendapatkannya saat di dalam ruang tawanan dan menyimpannya di saku celana. Raja tumbang. Tubuhnya menggelepar di atas tanah.

"Galang! Dina!" teriak Pak Cokro. Mereka berkumpul bertiga. Pak Cokro memegang tangan Galang dan Dina.

"Pejamkan mata kalian! Jangan dibuka sebelum ada instruksi dariku!" perintah Pak Cokro. Galang dan Dina menurut. Mereka akhirnya berhasil kembali ke dunia nyata.

****

Tubuh Pak Cokro sudah tenang. Fatih melepas pegangannya. Begitu juga dengan Pak Santo. Cici berjalan kembali ke tempat Bu Surti tertidur. Dia membangunkan Bu Surti. Pak Santo juga kembali menyalakan perapian yang sudah hampir mati. Fatih tetap di samping tubuh Pak Cokro. Tidak lama kemudian mata Pak Cokro terbuka.

"Akhirnya," ucap Pak Cokro.

"Bagaimana, Pak? Apa yang sedang terjadi?" tanya Fatih beruntun.

"Fatih! Cici!" Dua orang berjalan dari kegelapan. Setelah dekat, ternyata mereka adalah Galang dan Dina.

"Galang! Dina!" jawab Cici. "Akhirnya kalian bisa keluar dari sana," ucapnya.

"Terima kasih atas bantuan kalian semua," ucap Dina sambil memeluk Cici.

"Apakah kalian sudah memakan hidangan dari mereka?" tanya Pak Cokro.

"Belum, Pak. Kami berdua baru saja sadar, kemudian dua orang prajurit membawa kami keluar," jelas Galang.

"Aku dan Cici yang sempat memakan makanan di sana," sahut Fatih santai.  "Makanannya enak-enak."

"Bahaya, kalian bisa saja tertangkap kembali."

Pak Cokro berdiri. Mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.

"Sementara ini, buat Fatih dan Cici, pakailah gelang ini, agar kalian tidak terseret kembali ke sana," jelas Pak Cokro. Lelaki itu memberikan dua buah gelang kain. Ada semacam kayu bundar di tengahnya. Fatih dan Cici segera memakainya.

"Setelah ini, ayo kita kembali ke Candi Belahan. Kalian berempat harus mandi kembang tujuh rupa untuk menghilangkan aura mistis yang masih menempel di tubuh kalian."

Pak Cokro berjalan menjauh menuju arah Candi. Pak Santo membawa sebatang kayu yang masih sedikit menyala untuk penerangan.

"Buang saja kayunya, Yah. Fatih bawa senter, kok," ucap Fatih.

Mereka semua tertawa kecuali Pak Santo.

Teror Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang