Di Tengah Hutan

22 3 1
                                    

Mereka berempat kembali turun dari mobil. Langit terlihat gelap tanpa bintang satupun. Tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan dari arah utara.

"Eh, lihat, ada cahaya!" teriak Dina. Tangannya menunjuk ke arah utara.

"E, iya, terang banget," jawab Fatih. "Apa itu berasal dari orang-orang desa, ya?" 

"Nggak tahu, gue juga penasaran orang-orang Desa ngapain aja." Dina menjawab. Matanya tidak lepas memandang cahaya vertikal yang sangat terang.

"Gue takut, nih, di sini sepi banget. Nggak ada orang lain selain kita berempat, nggak ada Indomaret, nggak ada tukang bakso, nggak ada tukang es cendol, huft," omel Cici. Dia tidak begitu peduli dengan cahaya yang diperbincangkan teman-temannya.

"Lo sebenernya takut apa laper? Makanan Mulu yang dipikirin," sahut Galang berkacak pinggang. "Apa kita lanjutkan aja perjalanannya?

"Emang Lu tahu tempatnya Candi Belahan itu di mana?" tanya Cici.

"Kan ada Google Map," jawab Galang enteng.

"Ya udah, kita berangkat," kata Dina memutuskan.

Mereka berempat nekat juga melanjutkan perjalanan ke Candi Belahan. Sepanjang perjalanan suasana Desa sepi.  Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tidak lama kemudian mereka keluar dari desa tersebut. Jalanan mulai gelap. Penerangan hanya berasal dari mobil Galang. Di tengah perjalanan tiba-tiba seorang lelaki berdiri di tengah jalan mengagetkan mereka.

"Stop!" teriak Fatih spontan. "Ngagetin aja tuh orang."

"Kok gue merinding, sih. Orang itu beneran manusia apa bukan, ya?" sahut Cici. 

Setelah Galang menghentikan mobilnya, kemudian dia turun untuk memastikan bahwa lelaki tersebut memang manusia.

"Mau ke mana kalian?" tanya lelaki itu. Pakaiannya serba hitam. Dia juga memakai blangkon berwarna hitam. Kedua tangannya disembunyikan di balik punggung.

"Kami mau ke Candi Belahan, Pak. Rencananya mau penelitian di sana," jawab Galang. "Maaf, Bapak siapa, ya?"

"Perkenalkan nama saya Cokro, juru kunci Candi Belahan."

"Wah kebetulan. Apa Bapak berkenan ikut dengan kami? Nanti Bapak akan kami wawancarai untuk bahan penelitian kami?" tanya Galang.

"Setengah jam dari sini kalian akan menemukan pertigaan . Beliklah ke kanan. Di situlah tempatnya. Saran saya sebaiknya kalian lanjutkan perjalanan besok pagi saja. Sekarang bahaya." Pak Cokro menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi.

"Maaf, Pak. Sebelumnya kami juga singgah di suatu desa. Tapi di sana sepi. Akhirnya kami lanjutkan perjalanan kami." Galang menjelaskan.

"Memang, malam ini ada upacara topo bisu di desa tersebut. Sebaiknya kalian kembali lagi ke desa itu. Menginaplah di sana.

"Tapi sudah nanggung, Pak, kami sudah di sini," elak Galang.

"Ya sudah. Kalau ada apa-apa dengan kalian, saya tidak tanggung jawab." Pak Cokro mengakhiri pembicaraan. Galang segera kembali ke mobil.

"Kalian merasa nggak, sih, sudah berapa orang yang bilang kalau kita tidak boleh jalan hari ini? Pertama nenek Cici, kedua laki-laki pemilik rumah, sekarang Pak Cokro," ucap Galang pada ketiga rekannya.

"Pak Cokro itu siapa?" tanya Dina.

"Pak Cokro, yang barusan gue temui. Dia itu sebenarnya juru kunci. Tapi tadi gue ajak wawancara dia nolak. Terus nyuruh kita untuk kembali ke desa," jelas Galang. "Kalian tetap mau lanjut apa kembali?"

"Aduh, bagaimana, ya. Gue mulai takut, nih. Mana sekarang udah malem banget." Cici mengomel.

Galang juga menceritakan tentang mimpinya bertemu lelaki yang melarang Galang untuk pergi ke Candi belahan hari itu.

"Kenapa kamu baru bilang sekarang? kalau tahu gini kita berangkatnya sekalian besok, bukan tadi. Terus ini gimana dong?" omel Cici.

Tanpa mereka sadari makhluk bertubuh tinggi, besar, dan hitam mengawasi mereka dari kejauhan. Dia adalah genderuwo yang akan akan berangkat pesta malam suro.
"Hmm, siapa empat anak muda itu? Apa tidak tahu kalau hari ini ada pesta. Lewat sini nggak pakai permisi. Rupanya mereka sedang uji nyali. Gue samperin, ah," ucap Genderuwo.

Genderuwo sedikit demi sedikit mendekati mereka. Galang dan Fatih tiba-tiba mencium bau ketela bakar.

"Eh baunya kayak ketela bakar kalian nyium nggak?" tanya Fatih.

"Iya nih, bentar bentar Gue pernah baca di Google kalau ada bau ketela bakar berarti ada… eh siapa tuh!?" Cici menunjukkan jarinya ke samping Galang.

"Genderuwo!" Galang berteriak. Dia segera menyalakan mobil. Anehnya mobil tidak bisa dinyalakan. 

"Hei kalian anak manusia. Berani sekali keluar malam-malam," ucap Genderuwo.

"Eh dia bisa bicara, lo yang jawab, Fat," ucap Galang.

"Kami mau ke Candi Belahan, Pak Gen," jawab Fatih. Badannya gemetar tidak karuan.

"Pak Gen. Gue masih muda, jangan panggil pak. Kalian kalau mau lewat sini, permisi dulu. Dasar anak zaman sekarang nggak punya sopan santun," omel Genderuwo.

"Maaf, Pak, eh, Mas genderuwo apa boleh kami lewat sekarang?" Atanya Fatih.

"Ya sudah sana, lain kali kalau mau lewat bilang permisi."

Ajaib, mobil Galang tiba-tiba bisa menyala. Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Lagi-lagi mereka dihadang segerombolan anak kecil berkepala plontos. Galang spontan menghentikan mobil. Tuyul-tuyul itu segera menghambur ke arah mobil. Mereka seperti menemukan sebuah mainan. Ada yang mencoba naik, ada yang sedang bercermin di spion, dan ada yang cuma joget-joget.

"Ih ngeri deh, kenapa dari tadi kita digangguin melulu. Coba aja kita berangkatnya besok, pasti tidak bakal kayak gini," omel Cici.

"Sekarang kita udah sampai di sini, mau bagaimana lagi? Lihat, nih! Gue baca di Google, setiap malam satu suro para arwah-awah akan gentayangan. Mereka akan mengadakan pesta. Pantas saja kita dari tadi diganggu mulu.

Mereka berempat bingung. Mau kembali ke desa tapi sudah terlalu jauh. Mau dilanjut tapi suasana semakin mencekam. 

"Terus itu gimana caranya ngusir tuyul-tuyul?" tanya Galang.

"Bentar, Lang, gue cari di google dulu." Dina segera mencari cara mengusir tuyul.

"Ini ada empat cara. Pertama dengan di kasih bawang merah dan putih, kalian bawa, nggak?" tanya Dina.

"Ya nggak, lah. Ngapain juga bawa bumbu dapur," omel Cici.

"Cara ke dua, tuyul akan takut dengan cermin."

"Tapi lihat mereka malah rebutan cermin di spion," ucap Fatih.

"Oke aku lihat cara ke tiga, kasih kepiting," lanjut Dina.

"Aduh itu google apaan, sih. Sarannya gak lucu tau. Masak tuyul dikasih kepiting. Di tengah hutan mana ada kepiting," omel Galang. Dia semakin risih dan jijik saking banyaknya tuyul mengerubungi mobilnya.

"Nah, ini cara terakhir, dengan di kasih benda tajam. Kalian ada yang bawa pisau?"

"Ini, gue bawa," sahut Fatih.

"Nah, lempar ke mereka!"

Fatih segera membuka jendela mobil. Dia melempar pisau kecil. Segerombolan tuyul merasa kaget. Mereka segera lari menjauh dari mobil.

"Akhirnya," ucap Galang lega. Dia segera melajukan mobilnya.

"Aa...Apa lagi tuh?"

Teror Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang