Mandi

17 4 1
                                    

"Yah, Pak Cokro benar, Kakek Suryo adalah Kakaknya Pak Cokro." Ucap Fatih.

"Berarti kalian tahu di mana keris itu berada?"

Mereka bertujuh sudah sampai di warung. Hampir tengah malam, warung itu juga segera tutup. Namun melihat yang datang adalah Pak Cokro beserta tamunya, pemilik warung mengurungkan niatnya.

"Kalian semua istirahatlah di sini sebentar. Setelah itu untuk Fatih, Cici, Dina, dan Galang, kalian harus mandi kembang malam ini juga," perintah Pak Cokro.

Lelaki itu keluar duduk di teras depan warung bersama Pak Santo. "Apakah kamu ingat, di mana kakakku menyembunyikannya?"

Pak Santo mengingat-ingat wasiat bapaknya. Setahu dia bapaknya tidak pernah membahas masalah keris yang dimaksud oleh Pak Cokro. Pak Suryo hanya meninggalkan sebuah kertas lusuh, dan rumah.

"Rumah bapak saya masih ada. Belum tersentuh sama sekali. Kalau mau, Pak Cokro bisa mencarinya sendiri. Karena seingat saya, bapak tidak pernah membahas masalah keris," jelas Pak Santo. Dia mengambil rokok. Menyalakannya dengan korek. Kemudian menghisapnya pelan.

"Kalau begitu, besok saat kalian pulang, boleh aku ikut?" tanya Pak Cokro. Hatinya merasa sedikit tenang. Selama ini dia terbayang-bayang pesan kakaknya. Namun baru kali ini ada titik terang meski belum pasti.

"Silakan, dengan senang hati saya akan mengantar anda," jawab Pak Santo.

Mereka berdua semakin akrab. Pak Santo menceritakan kisah dia dengan bapaknya yang penuh kasih sayang. Bapaknya tidak pernah marah. Pak Cokro menceritakan bagaimana kehidupan kakaknya yang selalu membuat iri semua orang. Sejak kecil hidup Pak Cokro dihabiskan bersama sang kakak.

Di dalam warung, Fatih masih berkutat dengan gambar silsilah keluarganya. Sesekali Dia melihat internet untuk mencari arti dari beberapa simbol yang tidak diketahui. Cici sudah melahap nasi soto. Kaki bekas digigit ular sudah pulih berkat minyak oles yang dia beli di warung tersebut. Bu Surti masih asik bermain handphone, membalas pesan teman-teman arisannya. Pasalnya Dia pergi dari rumah tanpa sempat memberitahu siapapun. Galang sudah tertidur pulas. Kakinya terlihat lecet karena sepanjang perjalanan di hutan Dia tidak memakai alas.  Dina masih mencatat agenda yang akan dilaporkan.

Pak Cokro dan Pak Santo masuk ke dalam warung. Pak Cokro memesan kopi, sedangkan Pak Santo memesan susu jahe.

"Sebentar lagi tengah malam, kalian semua harus mandi kembang tujuh rupa di dalam area candi," celetuk Pak Cokro tiba-tiba.

"Hah! Malam-malam begini? Dingin banget kayaknya," omel Cici.

"Aku dan istriku sudah mandi, Pak," jawab Pak Santo.

"Iya, untuk mengantisipasi saja, kalian berdua juga mandi lagi." Pak Cokro menyeruput kopi ya pelan. Pikirannya masih terngiang-ngiang kakak sematawayangnya.

Dua jam mereka beristirahat. Rasa lelah sudah hilang. Mereka segera menuju candi untuk mandi kembang menghilangkan bau mistis yang akan mengundang kedatangan makhluk-makhluk tak kasat mata. Ternyata Pak Cokro sudah mempunyai persediaan kembang tujuh rupa yang dia simpan dan dia titipkan di warung tersebut. Tidak lama kemudian mereka sampai di kolam pemandian sumber tetek.

"Brrr, dingin banget," ucap Dina saat menyentuk air dengan ujung jarinya.

"Pak, mandinya kagak boleh besok aja?" protes Galang. Dia memang tidak suka mandi hanya dengan air dingin. Dia selalu mandi pakai air hangat saat di rumah.

"Bisa." Pak Cokro mengelus jenggotnya yang tumbuh sedikit rambut. "Jangan salahkan aku kalau bau tubuh kalian akan disukai oleh makhluk halus."

"Ih, serem banget," ucap Fatih.

Cici segera menceburkan badannya. Dia memang suka sekali dengan air. Dina hanya duduk di pinggir kolam. Dia menceburkan kakinya sebatas lutut. Galang mencoba untuk berenang, tapi tidak bisa. Air terlalu dangkal. Fatih masih tetap berdiri. Dia masih trauma karena pernah mandi saat malam hari, esoknya seluruh badannya bentol-bentol merah dan rasanya sangat gatal. Pak Santo dan Bu Surti segera menceburkan diri. Melihat Fatih masih berdiri terpaku, Pak Santo ingat kalau anaknya pernah gatal-gatal setelah terkena dinginnya air di malam hari.

"Fatih! Sampai kapan kamu kayak gitu? Coba dulu, bisa jadi air ini tidak membuatmu gatal!" teriak Pak Santo. Dia terlihat duduk santai, kakinya diselonjorkan di dalam air. Bu Surti duduk di samping suaminya.

"Takut," kata Fatih. Suaranya persis seperti anak kecil.

"Lebay, Lo." Dina menyahut. Kali ini badannya sudah sepenuhnya basah.

Pak Cokro masih mencampur kembang tujuh rupa. Kemudian menuangkan sedikit kemenyan, dan terakhir merapal mantra.

"Ayo, Fatih, buruan, dingin, nih!" teriak Galang. "Kalau kamu nggak segera masuk, mandinya semakin lama. Lo kagak kasian sama kita yang udah kedinginan dari tadi?"

Galang mengomel. Tangannya sedikit mencipta air ke wajah Fatih. Tanpa disuruh dua kali dia segera menceburkan diri. Pak Cokro langsung menyebarkan kembang tujuh rupa. Setelah merata, dia duduk bersila. Mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkan. Tidak lama kemudian angin berembus. Semakin lama semakin kencang. Mereka yang berendam semakin kedinginan. Tiba-tiba air berubah menjadi hijau.

"Ayo, naiklah kalian semua. Ritual sudah selesai," ucap Pak Cokro.

Tanpa menunggu lebih lama mereka semua langsung keluar dari kolam. Anehnya mereka tidak merasa kedinginan ketika sudah keluar dari kolam. Perlahan warna air normal kembali.

"Kita istirahat di warung yang tadi. Besok baru kita pulang," ucap Pak Cokro.

Teror Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang