Cahaya

20 4 1
                                    

"Kita ke mana, nih?" tanya Cici khawatir. "Mau tanya siapa kalau sepi begini?" lanjutnya.

"Awas!"

Fatih berteriak. Tangannya menunjuk ke depan. Seekor kucing hitam melintas cepat. Untung Galang cepat menekan rem.

"Hampir saja," kata Galang dengan tangan kanan  mengelus dadanya.

Kucing hitam tersebut berhenti di pinggir jalan. Hewan itu menoleh ke arah mobil Galang. Matanya menyorot tajam. Pupilnya berwarna merah menyala. Semua orang di dalam mobil kaget dibuatnya. Kemudian mengeong dengan keras, tapi hanya sekali.

"Eh, lihat matanya!" ucap Cici sedikit berteriak.

"Serem banget," sahut Dina.

Kucing hitam tersebut kemudian berlari ke salah satu rumah warga dan melompat ke dalam melalui langit-langit di atas jendela. Sejak memasuki gapura desa, yang terlihat hanya deretan rumah yang dindingnya terbuat dari bambu. Semua rumah bentuknya hampir sama. Satu pintu di depan yang pintunya terbuat dari kayu ukir. Di sampingnya terpasang jendela minimalis yang terbuat dari kayu ukir juga. Ukuran dari semua rumah pun sama. Ada satu lubang memanjang di atas jendela. Di depan rumah berdiri pagar kayu dengan satu pintu.

"Eh, itu ada orang," ucap Fatih.

Seorang laki-laki paruh baya berpakaian serba hitam dengan kombinasi batik parang rusak keluar dari salah satu rumah. Model pakaiannya khas baju zaman dahulu. Ditangannya menggenggam seperti keris panjang. Kepalanya memakai blangkon. Kumisnya tebal. Spontan Fatih langsung keluar dari mobil.

"Permisi, Pak. Maaf mau tanya. Kami datang dari jauh untuk menginap semalam saja di sini. Apakah ada tempat untuk kami?" tanya Fatih to the point.

Laki-laki tersebut hanya mengamati Fatih. Fatih menjadi salah tingkah. Lalu terdengar pintu terbuka. Seorang wanita berkebaya hijau keluar dari rumah yang sama dengan laki-laki tadi. ditangannya memegang sebuah kain berwarna merah. Wanita itu seolah sudah mendengar pertanyaan Fatih, dia segera melambaikan tangannya. Seperti ada sinyal, Fatih langsung menyuruh teman-temannya untuk segera keluar dari mobil.

Hari sudah gelap. Tidak ingin berlama-lama di luar, Galang, Dina, dan Cici langsung mengemasi barang-barang yang mereka butuhkan seperti makanan, baju, dan selimut. Mereka segera turun dan masuk ke dalam rumah tersebut. Suasana di dalam rumah sangat sepi. Terdapat tiga ruangan dalam rumah tersebut. Paling depan sepertinya adalah ruang tamu. Tapi tidak ada kursi. Hanya ada lemari, dipan besar dan lebar serta meja. Laki-laki tadi sudah pergi entah ke mana. Wanita berkebaya menunjuk sebuah dipan di dekat lemari tua.

"Apa topo bisu sudah mulai?" tanya Cici sedikit berbisik.

"Kayaknya begitu," jawab Dina.

Melihat Dina dan Cici berbisik-bisik, Galang langsung mengisyaratkan diam dengan jari telunjuknya yang diarahkan di depan bibir. Dua cewek itu diam kembali. Mereka berempat segera meletakkan barang-barang yang dibawanya di atas dipan.

Wanita berkebaya hijau tadi keluar dengan membawa kendi berisi air dan beberapa gelas plastik. Dia meletakkannya di atas meja samping dipan. Wanita itu juga menunjuk sebuah bilik yang ternyata adalah kamar mandi. Setelah itu ia lekas keluar rumah tanpa berkata sedikitpun.

Fatih segera ke kamar mandi. Cici membuka bekal yang dibawanya. Mereka tidak berani berbicara sepatah katapun. Tidak lama kemudian Fatih ikut bergabung. Mereka bergantian ke kamar mandi. Galang makan sangat lahap. Fatih tidak begitu selera makan. Dia masih terngiang-ngiang dengan burger berisi belatung.

Desa seperti mati. Iseng, Dina membuka pintu. Tampak di depannya orang-orang berbondong-bondong menuju arah utara. Kebanyakan laki-laki membawa sesuatu di atas kepala mereka. Para wanita menenteng sebuah tas dari anyaman rotan. Entah isinya apa, tapi Dina mencium bau yang sangat sedap. Baunya seperti ayam panggang, ketela bakar, dan entah apa lagi. Ada juga bau bunga melati, bunga mawar, dan kemenyan.

Cici yang penasaran juga ikut melongokkan kepalanya ke luar rumah. Hampir saja dia berbicara karena heran melihat pemandangan di depannya. Galang dan Fatih ternyata juga menyusul ke luar. Semua penduduk berjalan dengan mata memandang lurus ke depan. Kehadiran Galang dan kawan-kawan seolah tidak dihiraukan.

Selang sepuluh menit, suasana kembali sepi. Bahkan suara jangkrik nyaris tidak terdengar. Semua orang berkumpul ke arah utara, entah di mana.

[Kita lanjutkan perjalanan saja,"]

Pesan Fatih pada Galang.

[Jangan, dong. Kan sudah sepakat kita menginap di sini]
Balas Galang.

[Tapi di sini mencurigakan. Emang kamu nggak ngerasa?]

[Iya, sih. Coba tanya Dina dan Cici, bagaimana pendapat mereka]

Mereka berempat berunding dalam diam. Setelah berdebat agak lama, akhirnya mereka memutuskan untuk tetap nekat melanjutkan perjalanan ke arah selatan-menuju candi belahan.

Setelah beres-beres, mereka segera masuk ke dalam mobil. Belum sempat mobil menyala, datang seorang lelaki menghadang di depan mobil. Di tangannya menggenggam sebuah clurit. Dipundaknya seekor kucing hitam bermata merah bertengger dengan santai. Galang segera turun.

"Ada apa, Pak?" tanya Galang.

"Kalian mau ke mana?" tanya laki-laki itu. Suaranya berat dan serak. Pakaiannya sama seperti laki-laki pemilik rumah.  Galang menjelaskan tujuan kedatangan mereka.

"Sebaiknya urungkan saja niat kalian. Bahaya." Laki-laki itu kemudian berbalik. Lalu menuju arah utara, mungkin bergabung bersama penduduk yang lain. Galang memberitahu teman yang lain. Mereka bingung harus bagaimana.

Mereka berempat kembali turun dari mobil. Langit terlihat gelap tanpa bintang satupun. Tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan dari arah utara.

Teror Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang