Chapter 2.1- Mengumpulkan awan

478 41 0
                                    

Aku benci melihat hujan.

Benci hari hujan.

Dan membencinya seperti ini selama hampir 3 tahun.

Sejak hari pertama aku berusia 18 tahun, aku belum pernah mendengar suara apapun saat hujan. Ini sudah hampir 3 tahun. Bahkan suara yang semua orang sebut Soulmate, belum pernah aku dengar..

Aku mencoba mencari tahu penyebabnya dengan segala cara yang memungkinkan. Baik buku maupun artikel yang berhubungan dengan kondisi tersebut, semuanya sudah aku baca. Hingga aku mampu mengumpulkan alasan mengapa seseorang tidak pernah mendengar suara soulmatenya.

Ada dua kemungkinan.

pertama,
kami berjauhan, sehingga hujan tidak turun pada waktu yang sama. ini seperti memegang ponselmu di sisimu. Menelfon dari satu pihak, dan pihak lain tidak mengangkatnya.

atau kedua..
Soulmateku mungkin belum berusia 18 tahun sehingga aku belum bisa mendengar suaranya dan dia juga tidak bisa mendengar suaraku.

Tentu saja, aku lebih mempercayai ini. karena selama 3 tahun terakhir, tidak mungkin keduanya tidak pernah hujan diwaktu yang bersamaan.

Tuhan tidak akan begitu jahat kepadaku..

kupikir begitu..

Aku berbaring tak bergerak di tempat tidur besar di tengah kamarku. dengan kebosanan aku menggunakan kedua lenganku sebagai bantal. Sambil menatap ke arah luar jendela kamar. Hujan di taburi tanpa henti seperti biasa, dengan suara yang sama seperti dulu. Yaitu suara dunia luar yang tidak lagi terdengar di telingaku.

Sekali lagi, aku sendirian di dunia yang sunyi ini, tetapi aku harus membuka mata lebar-lebar ketika tiba-tiba suara nafas aneh orang lain terdengar di tengah keheningan itu.

Bersemangat, aku melompat dan duduk di tempat tidur, takut jika aku salah dengar. Tapi sekali lagi, aku yakin aku mendengarnya. Suara dia menghembuskan nafas.

'huh..'

Hanya suara nafasnya membuatku membayangkannya. Ada begitu banyak hal yang berbeda di wajahku sebelum aku menunjukkan senyum lebar dan langsung menyapanya.

"Kamu.. berumur 18 tahun..?"

Aku menunggu jawaban darinya. Tapi sampai saat itu, hanya ada keheningan yang kembali.

"aku senang sekali..saat hujan, sangat sepi, kamu.. "

Jadi aku menyapa lagi, khawatir dia akan takut dan tidak berani menjawab..Tapi tidak peduli berapa lama aku menunggu, suara pihak lain tidak terdengar untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya suara detak jantung dan nafasnya yang berbunyi mempertandakan bahwa dia masih bersamaku.

dia benar benar soulmateku..

Aku mencoba mengajaknya berbicara dalam waktu yang lama. Tapi tidak ada jawaban, membuatku hanya bisa menyerah. Hanya bisa melihat rintik hujan diluar jendela serta mendengarkan suara nafasnya yang naik dan turun.

Tapi, itu lebih dari cukup...Lebih baik daripada sendirian di dunia yang sangat sepi..

Aku bukan menghibur diri, tapi aku memang merasa seperti itu. Mempunyai teman di dunia yang sunyi ini telah banyak mengurangi rasa kesepianku.

Aku juga baru menyadari sekarang bahwa hanya mendengar suara nafas orang lain dapat memberikan efek yang sangat besar pada pikiranku..

--

"Kamu, hari ini hujan lagi," aku menyapanya. Suasana sekitar tiba-tiba menjadi dunia yang hening ketika rintik-rintik hujan turun di luar kafe tempatku membaca.

"..."

Tentu saja, yang kembali dari sisi lain hanyalah suara nafas berirama yang sama seperti sebelumnya, membuatku menjadi terbiasa dengan ketidakpedulian itu. Karena tidak peduli berapa banyak aku mencoba untuk mengajaknya berbicara, apa yang aku dapatkan sebagai balasannya hanyalah sebuah keheningan tanpa respon apapun.

"Sudah tiga bulan. Apakah kamu masih menolak untuk berbicara?"

Aku baru menyadari, ini sudah tiga bulan.

Belahan jiwaku ini benar benar keras kepala..

Bukan hanya keras kelapa, tapi adalah seseorang yang benar benar pendiam sehingga dapat menahan untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun saat hujan seperti ini.

la pluie | Aku Mencintaimu Saat HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang