‹ VIII ›

82 10 0
                                    

Haechan menggeliat di atas kasurnya. tunggu. Kenapa tangannya tidak bisa di gerakan, seperti ada yang menahan tangannya kuat. Padahal Haechan sudah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan cekalan ditangannya ini.

Haechan tambah panik saat membuka matanya ia tidak melihat apa-apa selain gelap gulita.

"IBUNNN AKU BENERAN MENINGGAL YAA?" suaranya terendam oleh bantal.

"Heh, bocah!" suara yang sangat Haechan kenali itu. Dimana dia, kenapa tidak membantunya yang sedang diujung maut?

"MARRKKK! TOLONG GUEE" teriaknya masih dengan wajah yang menghadap bantal alias tengkurap.

Tangannya yang tercekal tadi kini sudah terlepas dan bisa ia gerakkan, namun kalah cepat dengan pergerakan Mark yang sudah lebih dulu membalikkan badannya yang tengkurap itu.

Fakta bahwa ia hanya tengkurap menghadap bantal saja dan orang yang mencekal tangannya di balik punggung adalah si tetangga sebelah jelas membuatnya ingin meledak. Buat apa dia kek gitu?

Haechan langsung mengubah posisinya menjadi terduduk. Mukanya sudah menampilkan kekesalan dengan beberapa ruam di area lehernya.

"Lo ngapain sih! gue panik tau gak, ish gue kira gue udah meninggal beneran!" ucapnya dengan kesal.

"Makanya kalo tidur pas lagi gatel gatel tuh iket tangannya biar gak garukin itu kulit" omel mark sambil kembali memainkan laptopnya.

"KOK JADI GUE YANG DI OMELIN SIH MONYET?"

Mark menolehkan kepalanya kembali jadi menghadap Haechan. "Karena lo emang pantes di omelin, Haechan" ucap Mark.

"TAU AH GUE SEBEL BANGET SAMA LO" ucap Haechan dengan kesal sambil beranjak berniat meninggalkan kasurnya menuju keluar kamar. Ia akan membiarkan Mark sendirian di kamarnya ini hingga Mark menyadari kesalahannya.

Bahkan jika Haechan jabarkan, sehari ini Mark sudah membuat dua kesalahan. (1)Pertama, Mark tidak membalas pesannya. (2)Kedua, Mark telah mencekal kedua tangannya hingga ia terbangun dari tidur nyenyaknya.

"Gue bawa brownies panggang tuh, mau gak?" baru selangkah ia berjalan tapi suara itu seakan menginstrupsikan dirinya untuk kembali menatap si pemilik suara.

"Mau" sroott...

Mark mengarahkan jari telunjuknya menuju meja belajar Haechan. waw brownies..

Kalau begini caranya mana bisa Haechan menolak.

Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, tidak ada obrolan aneh yang biasanya mereka lakukan. Haechan sibuk memakan brownies nya, Mark (pura-pura) sibuk dengan laptop di hadapannya.

Mark menghela nafas, sungguh biasanya ia sangat menyukai suasana hening tapi bersama Haechan dalam suasana hening sepertinya akan ia masukkan ke dalam daftar hal yang sangat tidak disukai. Sebenarnya tidak terlalu hening karena masih ada suara tarika ingus Haechan setiap 5 menit sekali.

"Gue pegangin tangan lo kayak tadi itu karena daritadi gue liatin lo tidur sambil ngegarukin itu kulit terus, itu kalo engga gue pegangin pasti sekarang kulit lo udah luka luka kali" Mark angkat bicara menjelaskan perihal tadi.

Haechan diam menatap Mark yang ada di atas kasurnya. Sambil mengunyah brownies nya ia hanya mendehem sebagai respon atas penjelasan Mark.

"Kenapa engga di iket aja? biasanya juga ibun ngiket tangan gue"

"Nanti tangan lo sakit lagi, terakhir kali lo alergi kan gue yang ngiket tangan lo"

"Yaelah biasa aja, kebiasaan lo, lebay"

Mark beranjak menuju Haechan yang sedang duduk dilantai yang dilapisi karpet berbulu, lalu menyomot satu potong brownies di dalam kotak.

SROOOTT . . . SROOTT

Lagi, tarikan ingus kembali terdengar.

"Jorok banget sih lo" Cibir Mark setelah selesai menelan satu potong brownies yang tadi ia ambil.

Diomelin mulu gue, monyet.

"HAECHAANNN, MONYEETTT, WOOYYY" teriak jeno dari jendela kamar Mark.

Haechan berjalan menuju jendela kamarnya. "APAAN ANJING" balas teriak Haechan.

"KEUJANAN LO YEE?"

"GARA-GARA LO, GOBLOK"

"MAIN LAH AYOOO"

"PUNYA MATA GAK SIH LO MONYET, GAK LIAT NIH MERAH DI BADAN GUE"

Jeno cengengesan mendengarnya.

"GUE KE SONO LAH NYET..."

"...ADA ABANG GUE KAN PASTI"

Haechan mengangguk sambil memasukkan satu potong brownies ke mulutnya.

Haechan menonton aksi Jeno yang terlihat effortless saat berpindah dari jendela kamar Mark menuju jendela kamarnya. Perasaan Haechan, biasanya dirinya harus membutuh perjuangan hidup dan mati saat berusaha pindah seperti itu tapi kenapa giliraN Jeno malah terlihat gampang. Tidak adil.

"Makin banyak aja itu merah merah, chan" ucao Jeno sambil mengamati kulit Haechan yang meruam.

Haechan menoyor kepala Jeno. "Gara-gara lo pake minjem handphone Mark"

"Kak Mark" koreksi Jeno dan Mark secara bersamaan.

"Karena handphone gue ketinggalan di rumah Jaemin"

"Terus pas lo ngechat Mark itu handphone nya masih di gue dan gue ketiduran" lanjutnya menjelaskan sebelum Haechan menyerangnya dengan pertanyaan pertanyaan lain.

"Terus udah handphone lo?"

"Belum, itu si kampret katanya mau berak dulu tapi udah 2 jam gak kelar-kelar"

Haechan menyandarkan kepalanya di bahu Jeno yang duduk di sebelahnya. Tangan Jeno bergerak menuju rahang haechan lalu mengusap-ngusapnya lembut.

"Maaf ya sayang, besok gue jajanin mie ayam deh"

"Sayang sayang aja lo" ucap Mark setelah mendengar perkataan Jeno.

Haechan menegakkan kepalanya, menjadi seperti semula.

"Dih, sewot aja lo, Cemburu?" balas Jeno.

"Iya"

➸➷➶➸➷➶➸➷➶

Next To You | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang