HARI masih pagi saat Kaluna Elodie Joanne berlari terburu-buru di koridor prodi kebidanan dengan sebuah laptop, makalah dan buku paket di pelukannya. Tali totebagnya sesekali ia perbaiki ketika merosot. Tas berwarna pastel itu sudah diberatkan dengan binder, alat tulis dan botol air. Kaluna semakin kesusahan dibuatnya.
Menilik arloji hitam di pergelangan kiri yang telah menunjukkan pukul 06:55, langkahnya kian cepat menaiki anak tangga. Hari sabtu ini adalah jadwal mengajar seorang Bapak Javier Alaric Zhico, dan Kaluna sudah benar-benar jera untuk terlambat di kelas laki-laki itu. Tetapi karena menyelesaikan power point dari makalahnya semalam hingga larut, ia lagi-lagi terlambat bangun.
Karena terlalu terburu-buru, Kaluna tidak memperhatikan langkahnya dengan baik hingga kaki gadis itu salah berpijak. Mata Kaluna terbelalak lebar dengan tubuh terhuyung ke belakang. Tangannya yang tidak memegang apa-apa, bergerak-gerak di udara untuk mencari pegangan.
Hampir saja Kaluna berakhir mengenaskan dengan tubuh menggelinding dari tangga jika seseorang yang baru saja datang tidak cepat menahan bahunya.
Napas Kaluna memburu hingga membuat dadanya kembang kempis dengan kasar setelah mendapatkan keseimbangan tubuhnya kembali. Barang-barangnya ia pindahkan ke tangan yang lain lantas tangannya yang baru saja bebas langsung berpegangan pada tepian tangga.
"Lain kali hati-hati, Dek. Untung gue datang tepat waktu."
Terlalu sibuk mengatur detak jantungnya yang terasa ingin berpindah tempat, Kaluna sampai lupa jika ada seseorang yang tadi menolongnya. Gadis itu memutar tubuh, melihat sang penolong. Untuk sesaat, Kaluna dibuat bungkam. Terpaku.
Sosok di depannya ini tampan luarbiasa dengan rambut undercut hitam, mata sipit yang tajam dan terlihat malas, bibir tipis merah muda alami dan rahang kokoh serta hidung mancung. Kaluna benar-benar penasaran seberapa banyak lagi laki-laki berparas Dewa Yunani di kampus ini?
"Hellow!" Laki-laki itu melambaikan tangan di depan wajah Kaluna dengan ekspresi bingung melihat Kaluna tiba-tiba berubah jadi patung dengan mulut sedikit terbuka.
Menyadari kebodohannya, Kaluna berdeham malu, lantas tersenyum tipis yang terkesan canggung. "T-terima kasih …." Mata Kaluna melirik lambang di seragam laki-laki itu, ketika tahu bahwa sosok yang berdiri di depannya adalah senior tingkat tiga, Kaluna diam-diam menelan ludah. ".., Kak."
"Hm. Lain kali hati-hati. Buru-buru boleh, tapi tetap perhatikan langkah juga. Jangan sampai karna kecerobohan lo, orang lain ikut celaka."
Nada dingin dan datar itu membuat Kaluna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Matanya tidak segaja melirik name tag di seragamnya—Giorgio Kenzo.
"Iya, Kak. Maaf dan makasih sekali lagi."
Gio—laki-laki itu mengangguk lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. Kaluna yang menatap kepergian laki-laki itu mengernyit bingung, "kok, ada mahasiswa di area akbid?" gumamnya. Lalu menggelengkan kepala tidak peduli setelah menyadari itu bukan urusannya.
Ketika Kaluna kembali menaiki anak tangga dengan langkah cepat, ponsel gadis itu berdering di dalam saku seragamnya.
Pak Javier is calling ….
"Cobaan apa lagi ini, Ya Tuhaaan …." Kaluna mengeluh putus asa sebelum menggeser ikon hijau ke atas dan menempelkan benda pipih itu di telinga."Selamat pa—"
"Kaluna, hari ini saya datang agak telat. Tolong sampaikan ke teman kelas kamu untuk duduk sesuai kelompok dan siapkan empat kursi untuk presentasi."
"Hah? Eh, iya, Pa—"
"Sekalian kamu tulis semua nama-nama kelompok di kertas selembar lalu taruh di meja saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. J
ChickLitKaluna pikir, kuliah itu hanya tenteng-tenteng totebag kemudian wisuda. Kaluna pikir, kuliah itu seindah cerita-cerita novel yang dia baca. Namun, semua ekspektasinya mengenai dunia perkuliahan seketika luluh lantak begitu bertemu dengan manusia sup...