"AWAS-AWAS, BOSS BESAR MAU LEWAT!"
Mendengar teriakan Razan, jelas Bram dan David segera menoleh, mendapati Chandra sedang berjalan sembari tersenyum secerah mentari.
"Uwihhhh, lama nggak ketemu makin berisi aja lo."
"Bram, gue nggak segan-segan ngelempar lo ke kandang Singa."
"Eih nanti lo kangen sama gue."
"Anjir! Apa-apaan kangen sama lo, ogah lah!"
Chandra menampilkan sebuah ekspresi wajah menggelikan saat itu juga, mengundang tawa dari ketiga temannya.
"Diem lo pada."
"Lo masuk sekolah kapan?"
"Besok." Chandra mengedarkan pandangannya, "Tapi dilihat-lihat kok kayak ada yang kurang?" Gumam Chandra.
"Apanya yang kurang?" Bingung Razan yang saling melirik dengan Bram.
"Woilah Naren kemana? Tuh anak ngilang mulu perasaan."
"Nape gue baru ngeh kalo Naren nggak ada?" Razan menepuk jidatnya.
David terdiam ditempatnya, "Naren bilang dia bakal dateng tapi telat mungkin. Dan kalo dia nggak bisa dateng dia titip salam buat lo Chan."
"Ada apa emangnya?"
Hembusan nafas kasar terdengar dari David, "Lo semua tau kehidupannya bagaimana"
"Dia-"
"Ya, dia kembali mengasingkan dirinya, setelah bertengkar hebat dengan tante mahira, dia ada ngechat gue tadi."
"Lalu sekarang, pertanyaan gue cuma satu."
Chandra berdiri, menyambar kunci mobilnya.
"Kemana anak itu pergi? Bukan hal baik melihat dia yang suka ngebut saat emosi."
Setelah mengatakan hal tersebut, Chandra bergegas keluar dari rumah David, berjalan cepat kearah bagasi, menghidupkan mesin, dan segera melajukan mobilnya, disusul oleh mobil David, serta Bram dan Razan dengan motor masing-masing.
Bram menambah kecepatan kuda besi miliknya, mencoba menyamakan kecepatan motornya dengan kecepatan mobil Chandra yang memimpin barisan.
"Kemana kita nyarinya?" Teriak Bram setelah berhasil menyamakan posisi motornya dengan mobil milik Chandra.
"Danau dekat Stasiun lama!!"
"Perintah dimengerti!" Setelah itu Chandra kembali menambah kecepatan mobilnya, meninggalkan Bram yang kini melaju berdampingan dengan Razan, dan David yang menjadi penutup barisan.
*****
Naren menatap pantulan wajahnya di air danau yang tenang, matahari telah berganti tugas dengan bulan, malam yang dingin dan sunyi, menjadi teman untuknya sekarang.
"Kenapa gue harus jadi yang sempurna?" Monolognya.
Naren tersenyum miring, "Dianggap malu-maluin keluarga, dianggap anak pembawa sial.. gue pikir-pikir.. nggak ada gunanya juga gue hidup ya?"
"Percuma juga gue hidup bikin onar mulu, nyatanya sekalipun mereka nggak pernah perhatian sama gue."
Naren tertawa pedih, air matanya sudah mengalir membentuk aliran sungai kecil.
"GUE JUGA PENGEN DIPELUK MAMA, GUE PENGEN DIPERHATIIN PAPA, KENAPA GUE NGGAK BISA NGERASAIN ITU SEMUA? GUE CAPEKK, LEBIH BAIK GUE MATI WAKTU ITU DARIPADA GUE HARUS JADI SUMBER MASALAH SEMUA ORANG!!"
"GUE PENGEN HIDUP DIANGGAP SEBAGAI NARENDRA! BUKAN SEBAGAI AIDEN RAJAKSA!"
Pecah sudah, tangisnya terdengar pilu, semua yang coba ia pendam kini tak lagi dapat ia pendam, hati dan mentalnya sudah sakit menerima semua perkataan dan perbuatan kedua orangtuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NARENKANA | Na Jaemin
Fanfiction[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Ma.. dingin.. boleh peluk Naren nggak?" "Pa, sakit.. jangan pukul Naren lagi" "Kak.. maaf kalo Naren punya salah" Dunianya hancur, ingin rasanya Naren menyerah, sudah cukup kesengsaraaannya, ia hanya ingin bahagi...