- (8) -

78 9 6
                                    

Kana menatap wajah Naren dalam diam, keduanya duduk berhadapan disebuah cafe didekat masjid, terpisah dengan sebuah meja.

"Udah lama ikut kegiatan kayak tadi?"

Naren membuka suara untuk memulai obrolan.

"Baru-baru ini, mungkin baru sekitar 2 bulan."

"Gue baru tau.."

"Tau apa?"

"Ternyata titisan iblis bisa lunak juga ya."

"Sembarangan, gini-gini gue rajin ibadah ye!"

Ungkapan itu sukses membuat Naren membeku. Kana yang melihat perubahan signifikan dari ekspresi Naren pun terheran-heran.

"Ada yang salah?"

"Lo cantik kalo pake jilbab."

Kana hanya berdeham, "kenapa ke sekolah nggak pake juga?"

Kana tersenyum miring, "gue belum mau."

Naren mengernyit heran setelah mendengar jawaban dari perempuan didepannya.

"Lah kenapa nggak mau?"

"Lo tau gue bar-bar, kelakuan seenak jidat, kalo ngomong juga kasar, gue belom jadi wanita Sholehah. Yang ada kalo gue pake jilbab, jadinya solehot bukan sholehah."

"Gue sih pengen kayak orang lain, cuman nggak mau merusak citranya hijab."

"Lalu nunggu lo tobat dulu gitu?"

"Ya, setidaknya nunggu sampe gue bener bisa ngerubah kebiasaan buruk gue."

"Kalo lo ngerasa buruk, terus gue apa? Gue yang nggak pernah tau, gimana caranya ibadah."

Kana membeo, "Orang tua lo? Apa nggak ngajarin?"

Naren menggeleng, "Nggak pernah, keluarga gue bukan keluarga taat agama."

"Tapi lo Islamkan?"

Kali ini Naren mengangguk, "Islam KTP."

"Kadang... Gue juga ngerasa nggak percaya adanya Tuhan." Lanjut Naren.

"Lo berfikiran seperti itu?"

Helaan nafas tedengar dari remaja laki-laki itu, "Ya.. karena gue ngerasa hidup gue nggak adil."

Kana bergeming, mencoba membuka telinga baik-baik, mendengarkan setiap keluh cowok didepannya.

"Gue ngerasa percuma gue hidup, kalo nggak ada satu pun yang sayang dan cinta sama gue."

Kana memberenggut tidak suka, "Jujur gue nggak tau apa masalah yang lo hadapi sekarang ini, tapi yang perlu lo inget, Tuhan itu nggak akan ngasih cobaan diluar batas kemampuan hambanya."

"Gue paham, gue denger banyak orang yang bilang kayak gitu, tapi gue capek."

"Diluar sana, ada yang lebih capek daripada lo."

Naren terdiam, Kana menghela nafas kemudian kembali berkata, "Narendra, semua orang punya masalah mereka masing-masing, berat atau tidak, semua itu tergantung mereka menyikapi."

"Lo nggak akan tau apa yang gue rasain." Eluhnya.

"Naren, gue tuh bukan orang yang suka ceramah, apalagi sama orang menyebalkan kek lo. Tapi disatu sisi, gue juga nggak terima lo ngomong kayak gitu."

"Lo tuh punya alur sendiri, semua orang punya langkah mereka masing-masing, Memiliki garis start dan finish sendiri-sendiri."

"Semua orang-- memiliki cerita dalam versi yang berbeda-beda. Lo nggak boleh nyerah, kalo capek, bersujud sama tuhan, minta jalan keluar, lo boleh nangis dihadapan tuhan, lo boleh cerita semuanya tanpa takut kebongkar, karena sebaik-baiknya rumah untuk bersandar, adalah tuhanmu yang menciptakan."

NARENKANA | Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang