Secret Boyfriend (Bag. 2)

188 31 15
                                    

Irene memejamkan mata selagi wajahnya dirias untuk tampil dalam sebuah program musik mingguan. Setelah indra pendengarnya dibombardir suara mesin hair dryer yang digunakan seorang penata untuk menciptakan gelombang indah pada rambut Joy yang duduk tepat di sebelahnya, ia akhirnya bisa tertidur sejenak.

Belum sepenuhnya terlelap, suasana ruang naratama salon kecantikan kembali dikejutkan oleh suara kotak riasan yang terjatuh ke lantai, memaksa Irene membuka mata dan menoleh.

"Astaga! Lihatlah kecerobohanmu!" geram seorang make up artist senior yang sedang merias Wendy. "Bisakah kau bekerja sedikit lebih baik―tidak, tidak, kau diam saja di situ, jangan lakukan apapun! Kau sama sekali tidak membantu."

Seorang gadis berambut sepunggung berjongkok memunguti kuas dan beragam make up yang berhamburan di lantai lalu dengan cekatan membungkuk meminta maaf.

"Kuas yang sudah jatuh jangan langsung dimasukkan ke kotak, dicuci dulu!" pinta perias yang menangani Irene dengan nada lebih tenang.

"Baik, Eonni." Gadis itu pun bergegas keluar, hampir menabrak Manajer Song yang muncul di ambang pintu.

"Benar-benar ceroboh," desah perias Irene sambil geleng-geleng kepala.

"Anak baru?" tanya Irene dengan tidak terlalu menggerakkan bibirnya yang sedang dipolesi lipstik dengan kuas kecil.

"Masih magang. Kudengar dia bergabung di tim kami karena punya koneksi, makanya Stela Eonni sangat tidak menyukainya. Seperti yang kau lihat, dia merepotkan."

Irene tidak berkomentar. Dia larut dalam pikirannya sendiri hingga menemukan dirinya bersimpati pada gadis tadi. Terlepas dari kecerobohannya, tidak ada yang salah dari memiliki koneksi. Bukankah itu satu keberuntungan?

Ponsel dalam genggamannya bergetar, membuyarkan renungannya. Senyumnya mengembang tipis tatkala melihat pesan dari kekasihnya yang bersembunyi di balik kontak bertuliskan "Ibu".

****

Hari terakhir di Tokyo membuat Junmyeon lebih semangat. Setelah seminggu ditugaskan meninjau gudang dan melakukan evaluasi pabrik yang beroperasi di sini, ia akhirnya bisa pulang ke Seoul dan bertemu Irene lagi. Setiap hari bertukar pesan dengan kekasihnya sama sekali tak mampu mengatasi rindu.

Junmyeon baru saja mengirim pesan pada Irene, menanyakan oleh-oleh yang ia inginkan ketika ponselnya berdering dihubungi sang ibu.

"Datanglah ke Ginza! Ibu tunggu."

Pupil Junmyeon seketika melebar, "Ibu di Jepang?"

"Ya, baru tiba semalam. Ada hal yang harus Ibu urus, makanya cepat ke sini."

Bersama setumpuk kebingungan, Junmyeon pun menuju lokasi yang diberi tahu ibunya dengan taksi. Sengaja tidak menghubungi sekretaris yang ikut bersamanya karena tidak mau mengganggu waktu istirahatnya. Lagi pula, ini bukan urusan pekerjaan.

Beberapa saat kemudian, taksi yang ditumpangi berhenti di depan sebuah gedung tinggi. Lantai satu dan duanya berdinding kaca transparan sehingga Junmyeon bisa melihat restoran di lantai pertama dan rak etalase yang memajang beragam set peralatan minum teh di lantai berikutnya.

Sambil menapaki tangga menuju lantai dua, Junmyeon berusaha menerka-nerka apa yang hendak ibunya urus di sini, tapi tidak berhasil memikirkan satu hal pun. Aroma teh menyergah penciumannya secepat ia menemukan ibunya melambai ke arahnya. Terlihat ibunya bersama seorang wanita muda.

"Kenalkan, ini putraku, Junmyeon," kata ibunya pada wanita itu saat Junmyeon sampai di meja.

Wanita berambut hitam kecokelatan itu tersenyum ramah seraya mengulurkan tangan, "Aku Sana. Senang bertemu denganmu."

No One KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang