Sunny Afternoon (Bag. 2)

148 32 7
                                    

Waktu berjalan terlalu lama dan setiap detiknya bagai melepas cambuk ke tubuh Irene. Masih dengan jubah mandi dan handuk di kepala, dia tidak berani membuat gerakan sedikit pun. Berharap wujudnya meleleh saja di atas sofa ruang tengah yang terasa seperti di panggang dalam oven raksasa.

"Bagaimana kalau kau berpakaian dulu?" ujar wanita muda yang datang bersama ibu Junmyeon dengan tatapan yang terkesan jijik.

Lantaran dibakar panik, Irene tidak sempat mengenali wanita berambut sepunggung yang mengenakan setelan blazer dan kulot warna kuning jagung yang duduk di seberang. Junmyeon pernah memperlihatkan foto keluarga besarnya dan ia sama sekali tidak mengingat ada wanita itu di sana. Tapi sekarang bukan waktunya memikirkan hal itu. Nasibnya berada di ujung tebing!

Irene sungguh berterima kasih pada Tuhan kalau mereka tak sampai mengenali dirinya. Seorang selebriti papan atas berada di rumah seorang pria lajang kaya raya hanya dengan pakaian mandi. Dalam industrinya, kabar semacam ini bisa menimbulkan makna yang sangat negatif. Jika tercium publik, dia bisa membayangkan para eksekutif agensi mengadakan rapat darurat dan menyepakati satu solusi. Mendepaknya dari grup.

Hidup sebagai figur publik kenyataannya sama sekali tidak mudah, tapi tidak ada hari yang lebih sulit dibanding saat ini. Setelah berpakaian lebih layak ―bagaimanapun kerasnya berpikir, Irene tetap merasa tak pantas muncul di hadapan seorang ibu dengan mengenakan setelan training anaknya, ia kembali menghampiri ruang tengah. Rasanya seperti berjalan di atas serpihan kaca.

"Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" todong ibu Junmyeon sedetik setelah Irene merapatkan duduk.

"Ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Aku hanya sesekali ke sini."

Ibu Junmyeon meringis, tatapannya semakin sengit. "Hanya sesekali? Dengan penampilan seperti tadi?"

Irene merunduk meremas lutut. Sudah bisa ditebak apa yang dipikirkan wanita di hadapannya. Namun, situasi terlampau kacau untuk mencoba meluruskan. Beruntung terdengar sandi apartemen dimasukkan dan Junmyeon segera muncul di balik pintu. Air wajahya tampak keruh dengan napas memburu. Irene bisa merasakan luapan kecemasan hanya dari sinar matanya.

"Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini?" Junmyeon menghampiri dan berhenti tepat di sisi Irene.

"Kenapa? Kau takut perempuan ini ketahuan olehku?" sahut ibunya dingin. Dia bangkit seolah menggenggam belati yang siap menebas mereka. "Ibu benar-benar kecewa, Junmyeon. Ibu mengizinkanmu tinggal terpisah agar kau bisa mandiri, bukan melihatmu hidup sembrono dengan perempuan yang bahkan tidak kukenali."

"Namanya Irene. Dia kekasihku," sergah Junmyeon, "dan aku tidak hidup sembrono. Kami memang sering menghabiskan waktu di sini karena pekerjaannya yang―" Ucapannya terhenti saat Irene meraih pergelangan tangannya sambil menatap dalam-dalam. "Pokoknya ini tidak seperti yang Ibu pikirkan," imbuhnya.

"Ke-kekasihmu?" Wanita muda yang sejak tadi bungkam angkat suara.

"Ya, dan aku ingin menikahinya," tegas Junmyeon tanpa keraguan sedikit pun.

Wanita berambut hitam berkilau itu tersenyum kecut. Di bawah sorot lampu hias, sekilas tatapannya tampak berkaca-kaca. Dia pun bangkit dan berkata, "Aku tidak seharusnya berada di sini. Aku pergi duluan, Eommoni."

Eommoni?

Ucapan wanita itu terngiang di kepala Irene membuatnya digerogoti penasaran. Mengapa ia memanggil ibu Junmyeon seperti itu? Irene terlalu sibuk dengan prasangka yang lolos di pikirannya sampai tak menyadari jika wanita itu telah menghilang dari pandangan, hanya meninggalkan aroma citrus yang samar-samar.

"Kita bicarakan ini di rumah dengan ayahmu!" Ibu Junmyeon ikut beranjak, terlihat buru-buru menyusul wanita itu sampai tak melirik Irene sekilas pun.

Terdengar bunyi yang menandakan pintu kembali terkunci. Irene seketika kehilangan seluruh tenaga yang menopang tubuhnya. Hatinya mencelus merasa ibu Junmyeon tidak menyambut baik hubungan mereka, entah karena kesalahpahaman ini atau karena hal lain.

"Kau baik-baik saja?" Junmyeon menjatuhkan diri ke sebelah Irene.

Jelas tidak baik-baik saja.

"Bagaimana ini? Semuanya jadi kacau." Suara Irene bergetar, tenggorokannya pahit.

Junmyeon menarik Irene dalam pelukan, menepuk-nepuk pelan punggungnya. Sejenak Irene larut dalam kehangatan meskipun tak benar-benar melenyapkan kegelisahannya.

"Jangan khawatir, Sayang, akan kujelaskan ke ibuku baik-baik," tutur lelaki itu lembut. Dia lalu bangkit ke dapur dan kembali dengan segelas air putih untuk Irene. "Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada meja makanku? Kenapa penuh dengan makanan?" tanyanya mesam-mesem seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Irene membuang napas, meletakkan gelas yang hampir tandas, dan menatap Junmyeon jauh ke dalam irisnya. "Aku ingin memasak makanan kesukaanmu dan meminta maaf atas sikapku terakhir kali, tapi aku sudah kehilangan nafsu makan sekarang."

Senyuman Junmyeon mengembang sempurna. Dia menyosor bibir Irene dengan kecupan singkat. "Tapi nafsu padaku tidak hilang, 'kan?" ucapnya dengan tatapan nakal.

"Ini bukan waktunya bercanda, Junmyeon," dengusnya, melayangkan tamparan di lengan kekasihnya.

"Siapa yang bercanda, Sayang?" Junmyeon kembali merengkuh Irene, kali ini lebih erat. "Aku merindukanmu. Aku minta maaf kalau sikapku akhir-akhir ini justru membebanimu. Aku janji tidak akan begitu lagi."

"Aku juga merindukanmu, Sayang. Aku tidak suka berhari-hari tidak ada kabar darimu."

"Baiklah, mulai hari ini pesan-pesanku akan terus meneror ponselmu, jadi jangan marah kalau kau terganggu."

Kata meneror tertinggal di benak Irene. Pesan-pesan ancaman yang belakangan terus mengusik kembali menghantui pikirannya. Namun, ia tidak akan membaginya dengan Junmyeon. Dia bersedia mengungkap semua tentang hidupnya kepada lelaki itu, termasuk saat ia pernah diam-diam memungut uang teman kelasnya yang terjatuh dan membeli roti karena sangat kelaparan. Tapi mengenai masa lalunya bersama Sowon, ia ingin menguburnya dalam-dalam hingga tak ada seorang pun yang tahu.

"Junmyeon, boleh aku bertanya?" Irene mendongak menatap wajah kekasihnya.

"Tentu saja."

"Siapa wanita yang bersama ibumu tadi?" tanyanya. Bagaimanapun, sosok cantik itu tak mau pergi dari pikirannya.

Hening menyelinap di antara mereka. Perlahan Junmyeon melepas pelukannya, padahal Irene mengira tubuh kecilnya akan terus terbelenggu di sana, setidaknya dalam waktu yang cukup lama. Perasaannya semakin tak karuan mendengar helaan napas Junmyeon.

"Aku sebenarnya tidak ingin kau tahu hal ini." Irene menanti dengan sabar Junmyeon melanjutkan kalimatnya. "Dia anak teman ibuku di Jepang. Dia akan melanjutkan pendidikannya di sini dan ibuku ingin menjodohkan kami."

Terjawab sudah segala kejanggalan yang berkelebat di otak Irene. Sejak tadi ia berusaha meyakini bahwa wanita itu mungkin saja seorang kerabat walaupun ia sempat menangkap sinar tak biasa dari sorot matanya terhadap Junmyeon. Kini, ia paham wanita itu menginginkan kekasihnya.

"Tapi tidak perlu cemas," Junmyeon buru-buru menambahkan, "Ibu menjodohkanku karena mengira aku tidak bisa cari pacar. Sekarang, dia sudah tahu kalau aku benar-benar punya pacar, jadi perjodohannya tidak mungkin diteruskan. Sungguh!"

"Apa ini alasanmu tiba-tiba ingin mengenalkanku pada keluargamu?" lontar Irene.

"Tepatnya salah satu alasanku." Mimik Junmyeon berubah lebih serius. "Aku sangat mencintaimu dan ingin menyempurnakan hidupku dengan menikahimu. Aku paham perjalanan kita masih panjang dan kau masih ingin fokus berkarir, tapi tidak bisakah kita mulai mempersiapkan masa depan? Pelan-pelan saja tidak apa-apa." Nada suaranya berubah dalam sekaligus berat, "Kupikir aku tidak bisa melangkah ke sana kalau bukan bersamamu."

Rongga mulut Irene terasa pekat. Tatapannya melekat sampai ia bisa melihat pantulan dirinya dalam bola mata bening Junmyeon, menyadari betapa egois dirinya. Selama ini ia terlalu mencemaskan karirnya hingga mengabaikan ketulusan kekasihnya, padahal belum tentu ada lelaki yang bisa mencintainya sedalam Junmyeon.

"Maafkan aku," lirihnya, membenamkan wajah ke dada bidang Junmyeon, merasakan detak jantung yang beraturan seperti dentingan metronom. "Aku juga sangat mencintaimu dan ingin menata masa depan hanya denganmu, Kim Junmyeon."

No One KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang