Ruangan berubah senyap setelah hampir lima jam digempur alunan piano dan nyanyian merdu penuh harmoni para peserta pelatihan. Berbeda dengan peserta lain yang berkumpul menguapkan lelah di sudut ruangan, Irene bergegas keluar setelah meneguk air dari botol minumnya. Dia menaiki lift menuju lantai teratas.
Sekelebat ragu bergejolak saat Irene tiba di depan pintu bertuliskan Ruang Pimpinan meski akhirnya ia berhasil mengetuk dengan tangan berkeringat dingin. Terdengar sahutan yang mempersilakannya masuk. Dia segera disambut tatapan pria paruh baya di balik meja jati yang dicat cokelat gelap mengilap. Segaris senyum tersungging di wajah pria berkacamata itu, tapi tak cukup menutupi sinar matanya yang mengintimidasi.
"Lama tidak melihatmu, Joohyun. Apa yang membawamu kemari?" tanya Pimpinan Park setelah mempersilakan Irene duduk.
Irene mencengkeram ponsel dalam genggaman, membasahi kerongkongan yang terasa lebih kering ketimbang saat latihan tadi. Sadar sudah tidak ada cara untuk mundur, ia mengumpulkan keberanian mengeluarkan suara. "Kudengar agensi berencana mendebutkan girlgroup baru tahun depan."
"Kau pasti mendengarnya dari para coach." Pria itu tersenyum lebih santai. "Itu benar. Kami akan melakukan evaluasi untuk memilih anggota grup dalam waktu dekat. Jadi, persiapkan dirimu."
"Aku harus debut, Seonsaengnim," lontar Irene.
Lelaki di hadapannya terdiam. Rautnya berubah kaku walau sedetik kemudian kembali ditimpa senyuman. "Kupikir juga begitu. Usiamu sudah tidak cukup muda untuk memulai karir sebagai idol. Kau harus berlatih lebih keras dibanding yang lain. Jadikan ini kesempatan terakhirmu."
Semua kemampuan telah Irene kerahkan, tentu saja. Latihan sepanjang hari dan tidur tidak lebih dari lima jam sehari. Tiada hari tanpa rasa nyeri serta lelah. Tenggorokannya bahkan pernah sakit sampai suaranya tidak bisa keluar. Cedera tulang apalagi.
"Apakah ada jaminan aku bisa debut dengan berlatih lebih keras?"
Pimpinan Park meringis. Tatapannya jatuh semakin dalam ke retina Irene. "Sayangnya tidak, Joohyun. Semua trainee bisa berlatih lebih keras, tapi hanya yang lebih berbakat yang bisa debut."
Dari lensa kacamata pimpinan yang kekuningan, Irene menangkap pantulan dirinya yang kehilangan harapan. Menjalani lima tahun pelatihan, ia telah mengalami banyak kemajuan. Kemampuan menarinya pun kerap disanjung pelatih. Namun, ia tidak cukup percaya diri merasa lebih berbakat dari yang lain.
"Tolong bantu aku debut, Seonsaengnim. Kumohon." Irene menepis malu yang menyerobot. Masa depannya sedang dipertaruhkan, tapi pimpinan malah menyeringai seperti baru saja mendengar sepatah guyonan.
"Kelihatannya kau benar-benar putus asa sampai berani datang memohon padaku." Pria itu melepas kacamata sambil menggeleng. "Aku menghargai keberanianmu, tapi maaf, agensiku selalu menilai secara objektif. Kami memilih berdasarkan apa yang kami lihat dan dengar, bukan dengan belas kasih."
Ponsel di atas meja bergetar singkat, mengalihkan perhatian pimpinan. Sementara Irene merasa jiwanya tersedot dalam ruangan kedap tanpa cahaya setitik pun.
"Daripada bersikap pesimis, bagaimana kalau kau berusaha dulu?" Pimpinan Park kembali angkat suara, kali ini dengan punggung tangan menopang dagu. "Seandainya gagal, aku bisa membantumu pindah ke agensi yang lebih kecil. Dengan pesona yang kau miliki, kemungkinan besar mereka bersedia mendebutkanmu."
Air mata Irene meluncur seketika, tapi dengan sigap diseka. Tidak ada yang perlu ditangisi. Dia mungkin kurang bernilai di mata pimpinan, tapi dia memiliki senjata. Dengan satu tarikan napas, ia menyodorkan ponselnya dan menunjukkan sebuah video.
"Apa Anda akan tetap menilai secara objektif setelah melihat ini?" tantangnya. Lebih baik melakukan sesuatu yang agak gila daripada benar-benar dibuat gila oleh keputusasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
No One Knows
FanfictionSURENE FAN FICTION Irene Bae debut bersama empat gadis lain dalam sebuah grup musik bernama Red Velvet. Kecantikannya yang luar biasa tak hanya menjadi ikon grup, tapi juga sukses menjelma sebagai persona hiburan Korea Selatan. Karirnya penuh dengan...