Lirih

195 15 1
                                    

Aku pacu secepat mungkin menuju RS Meilia Cibubur, setengah perjalanan akhirnya sampai juga. Setelah memarkir mobilku, aku langsung berlari kencang menuju ruang ICU tempat Shina di rawat.

" Mbak pasien yang disini kemana ? " tanyaku kepada seorang perawat yang sedang merapikan ruangan itu, ketika aku gak nemuin Shina terbaring disana.

" Oh yang koma itu ya, udah dipindahin keruang perawatan, dia udah sadar tadi " jawabnya.

" Di ruang mana Mbak ? "

" Di kamar VIP, Monalisa "

" Iya makasih " ucapku langsung berlari menuju kamar itu.

Kini aku sudah berada tepat di depan pintu kamar bertuliska ' monalisa ', jantungku berdebar hebat, dengan tangan yang sedikit gemetar aku buka handle pintu itu perlahan. Sedikit demi sedikit hingga terbuka lebar, dan aku bisa lihat Shina dengan wajah pucatnya serta slang infus yang masih tertancam ditangannya. Ada seorang wanita setengah baya sedang duduk di sampingnya dan membelai rambutnya, nampak sangat gembira sekali, pasti dia ibunya. Dan ada beberapa kerabatnya serta tunangannya.

" Kamu lagi, ada apa kamu mau kesini " ucap Marshal sedikit menahan emosi. Aku hanya bisa diam menatap Shina, aku mengerti perasaan tunangannya.

" Oke, aku akan tanya Shina apa benar yang waktu itu kamu ucapkan " ucap Marshal kembali, kali ini aku alihkan pandanganku ke Marshal.

Marshal berdiri dan mendekati Shina, lalu dengan perlahan dia menundukkan tubuhnya " Sayang kamu kenal pria itu " ucap Marshal pelan seraya menunjukku. " Dia bilang, waktu kamu koma, roh kamu keluar dan bertemu dengannya " sambungnya.

Shina menatapku, mengamati wajaku. Ah tatapan ini, bukan seperti tatapan yang biasanya. Tatapannya seperti.......seperti orang yang gak kenal, kosong, bingung. Setelah beberapa saat menatapku, kemudian Shina menatap Marshal dan menggeleng pelang.

" Kamu udah tau kan jawabannya, jadi tolong ya " ucap Marshal pelan, aku paham dan perlahan aku mundur seraya menatap wajah Shina yang nampak pucat lalu keluar ruangan dan menutup pintu itu kembali. Shina lupa atau gak pernah kenal sama aku, itu yang selama ini aku takutkan.

Sakit memang, saat aku benar-benar yakin dia tulus mencintaiku, saat itu pula aku kehilangannya. Cinta adalah sesuatu yang rapuh, yang menghilang dalam satu ledakan perasaan. Tapi jauh dari itu semua, aku sangat senang bisa bersamanya menunggu takdir Tuhan, dan takdirnya sangat menyenangkan, dia telah sadar. Walaupun meninggalkan sejuta kenangan untukku tidak untuknya.

Sekembalinya aku di rumah, TVku masih menyala dan film yang tadi aku tonton bersama Shina belum habis. Aku sandarkan tubuhku di sofa depan TV, oh masih terasa hangat pelukannya yang tadi. Masih jelas ditelinga ini ungkapan cintanya, dan tubuh ini masih bisa merasakan getaran tubuhnya saat tadi ia menangis dipelukanku. Bahkan tubuh ini masih ingat dengan jelas, betapa kejamnya dia ketika melayangkan pukulan serta tendangannya ketika nonton film.

*****

" Baguslah kalo begitu, beberapa hari ini kamu musti mengurus segala macam keperluan untuk kepindahan kamu ke Inggris " ucap Pak Yoga.

" Iya Pak " ucapku.

" Tapi kenapa kamu nampak murung ? " tanya Pak Yoga

" Beberapa bulan ini aku mengalami hal-hal yang aneh, entahlah apa itu yang jelas membuatku sedikit depresi " ucapku.

" Ya, sepertinya kamu stress. Coba kamu ke psikiater deh, kebetulan aku punya kenalan psikiater " ucap Pak Yoga, seraya mengeluarkan kartu nama dari kotak yang ada di mejanya.

Aku terima kartu nama itu, ternyata gak jauh dari rumahku tempat psikiater itu praktek, tempatnya di RS Mitra Keluarga Cibubur. " Boleh aku izin pak, aku sepertinya memang perlu ke psikiater "

Pria Suram & Gadis BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang