Biasa Aja

263 15 1
                                    

Di sebuah kamar hotel, aku sedang asik memandang kamar hotel dengan cahaya remang. Setelah hampir satu jam bergemuruh dalam desah bersama Ica. Sedangkan Ica sudah sibuk dengan mimpi manisnya setelah bermandi peluh. Tubuh kami masih bugil, AC dengan tempratur 16 C tak cukup memberi kesegaran bagi kami yang baru bermain dengan api birahi, ditambah musim kemarau panjang.

Pikiranku menerawang jauh kedepan membayangkan baik-buruknya hal yang kini aku lakukan dengan Ica. Walaupun sebentar lagi dia akan bercerai, dan tak dapat kupungkiri, perlahan memori-memori masa laluku bersamanya kini terus berdatangan. Rasa yang dulu tertinggal kini seperti kembali lagi, untuk kembali mengukir cerita kami selanjutnya.

Tapi apa ini baik untukku, apa ini juga baik untuknya. Jujur saja walaupun aku yakin mulai mencintainya kembali dan begitu pula dengannya, tapi aku masih berfikir kalau semua ini hanyalah sebuah pelampiasan semata. Masih ada sedikit keraguan di hatiku jika yang kami jalani saat ini adalah sebuah ketulusan, aku merasa ada yang hilang dari kami yang dulu. Kami yang sekarang setiap memiliki waktu untuk bersama selalu diakhiri dengan pergumulan nafsu.

Walaupun sex adalah bagian dari cinta, tapi cinta tak melulu harus diakhiri dengan sex. Apa aku hanya dijadikan sebuah pelarian hasrat olehnya, dan apakah Ica hanya aku jadikan peliarian cinta. Sejak sidang pertama percerain Ica dengan suaminya, Ica memilih pisah rumah dan menyewa sebuah rumah di daerah kalisari, tak begitu jauh dari kediamanku di cibubur. Dengan begitu kami jadi banyak memiliki waktu untuk bersama. Kami bebas bertemu kapanpun kami mau, karna secara agama mereka sudah bercerai, tinggal menunggu pengesahan dari pihak pengadilan saja.

Sudah dua bulan aku dan Ica merangkai kembali memori masa lalu, walaupun dengan sedikit keraguan di hatiku, tak pernah aku ungkapkan keraguanku ini kepadanya. Aku takut menyinggung perasaannya. Dan tinggal satu kali lagi mereka menjalani persidangan, untuk memutuskan perceraian mereka dan apa-apa saja yang musti diselesaikan dalam perceraian mereka.

" Jumat sidang terakhirku, minggu kita ketemu di sini ya kak " ucapnya ketika aku hendak menurunkannya di depan sebuah mall di daerah cijantung.

" Ya, semoga lancar ya sidangnya " ucapku. Setelah memberi sebuah kecupan mesra di pipi, Ica hendak membuka pintu mobilku... " tunggu Ca " ucapku sebelum Ica membuka pintu mobilku.

" Iya, kenapa ? " tanyanya menoleh kearahku.

" Kamu yakin dengan apa yang kamu jalani saat ini ? " tanyaku. Tatapan matanya menunjukan jika dia terkejut dengan pertanyaanku. Diurungkan niatnya untuk membuka pintu mobilku, disandarkannya kembali tubuhnya di jok mobil.

" Kenapa kakak nanya begitu ?

" Kamu kan selalu bilang, sebenarnya suamimu adalah pria yang baik. Hanya dia tidak bisa menerima keadaannya. Bukankah katamu, kalian sebenarnya saling mencintai walaupun akhirnya harus seperti ini " ucapku, sangat berlawanan dengan perasaanku tapi sangat sejalan dengan keraguanku. Aku hendak memastikan apa yang masih aku ragukan. Ica hanya tertunduk sejenak meresapi perkataanku barusan.

" Ya memang, tapi aku gak bisa seperti ini terus. Apa kakak tega kalau apa terus menerus disiksa seperti ini " ucapnya terdengar lirih.

" Apa gak ada pembicaraan yang menuju perdamaian " ucapku, lagi-lagi berlawanan dengan perasaanku yang sebenarnya tidak ingin dia berdamai dengan suaminya. Ya hanya untuk menjawab keraguanku akan perasaannya, setelah aku yakin, aku juga akan meyakinkan perasaanku bahwa semua ini bukanlah sebuah pelarian untuk kami berdua.

" Dia selalu menginginkan opsi perdamaian, tapi aku sudah terlanjur sakit, dan aku sudah terlanjur bertemu kembali dengan kakak "

" Jadi bila kita gak bertemu, masih ada kesempatan bagi suamimu ? "

Pria Suram & Gadis BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang