09. Ordinary morning 🍂

345 45 1
                                    

Pagi tak selalu disambut dengan kicauan burung dan sentuhan hangat tangan ibu. Pagi juga tidak bisa menghapus masalah yang semalam singgah begitu saja, tetapi pagi, selalu membawa awal yang baru, mentari yang selalu menjadi ciri khas, dan suasana hati yang terkadang berbeda dari malam-malam sebelumnya.

Kamis pagi, menjadi awal dan aktivitas yang baru bagi seorang Alukka. Pukul 06:15 remaja tanggung itu sudah berkutat di dapur sendirian. Dengan seragam yang melekat, juga Jaz almamater berwarna abu itu, menjadi pelengkap sebagai siswa SMA Megasantria.

Suasana yang hening tiada suara, selain air yang terdengar tengah ditumpahkan pada gelas, El berlari dengan tergesa dari arah tangga dan dengan segera menyentak tangan Al yang tengah memegang teko.

"Kak, airnya tumpah kemana-mana!"

Al terperanjat, dengan cekatan ia melihat pada meja dan lantai yang sudah basah. Ia menepuk jidatnya sesaat, menggerutuki kebodohannya diawal pagi seperti ini.

"Untung bukan air panas, coba kalau air panas, emang ya, udah kaya di sinetron, ngelamun sambil tuangin air, endingnya tumpah kemana-mana, terus siapa yang beresin. Ellll jugaa yang beresin, ish macam tak betul lah budak nih." El terus mendumal sambil mengelap meja dengan kain serbet. Sedangkan Al yang mendengarnya terkekeh pelan.

Bukan tidak ada maksud kenapa Al tiba-tiba melamun seperti sekarang. Malam tadi, tepatnya pukul tiga dini hari, ia harus terbangun, karena Baswara yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya. Tak luput dengan tangannya yang memeluk pinggang Al erat.

Berniat untuk kembali tidur, ia malah berakhir begadang sampai subuh. Saat Baswara bangun, apa yang pria itu katakan?

'Ah, Ayah mimpi buruk.'

Tidak habis pikir. Al rasa, itu bukan hal yang harus dipikirkan berlebihan bukan? Tetapi, entah kenapa sampai pagi ini, Al terus saja memikirkan hal yang bahkan Baswara saja tidak tahu, pria itu memikirkannya atau tidak, atau mungkin pria itu benar-benar hanya menganggapnya sebagai bunga tidur.

Jika iya, kenapa Baswara harus sampai ke kamar Al, dan tidur bersamanya. Atau mungkin, Baswara diberikan perantara teguran lewat mimpi? Seperti ... firasat mungkin. Ah, tidak ada yang tahu, semua akan terjadi pada masanya.

"Malah ngelamun lagi, buru kak, cek gula darah," ucap El yang kembali menyadarkan Al.

"A-ah iya, ini mau," balas Al. Ia lantas duduk, dan mulai mengecek gula darahnya seperti biasa.

"Berapa?"

"180 mg/dl." Al berujar sambil memasukkan kembali alat yang bernamakan glukometer itu pada tas kecilnya. Glukometer adalah alat untuk cek gula darah setiap harinya bagi penderita diabet. Seperti yang baru saja Al lakukan.

"Jangan banyak pikiran kak, gula darah kakak selalu enggak nentu, kadang rendah, sekarang tinggi, hampir masuk ke angka 200. Masuknya nanti hemofilia, banyakin istirahat, aku enggak mau loh lihat kakak sakit sampe enggak bisa bangun, 'kan aku sedih." El berbicara panjang kali lebar, sambil menatap lamat-lamat wajah teduh kakaknya.

Al kembali terkekeh sambil menggeleng, adiknya ini terkadang lucu saat berceloteh, sudah seperti ibu yang menasehati anaknya saat berbuat nakal.

"El, sebagai seorang penderita diabetes, gula darah itu sulit buat ke angka yang normal, kadang rendah, karena kurang konsumsi yang manis, kadang juga tinggi karena terlalu banyak makan, makanan yang ngandung gula, bisa bikin gula darah jadi tinggi, kakak bingung, kak Al udah hidup apa adanya El, kalau kamu anggap kakak enggak ada usaha, kamu salah. Kakak juga pengen selalu sehat El."

Yang lebih muda menunduk, iya El percaya kok, jika Al selalu ada usaha. Buktinya, sampai sekarang ia masih bersama sang kakak, Al masih bertahan dengan hidupnya yang dikelilingi takdir menyedihkan.

"El percaya kok kak. Sehat-sehat terus deh, kalau  bukan buat El, ya buat diri kakak sendiri, oh iya soal hari itu, hari Minggu yang waktu it—"

"Enggak usah dibahas lagi El, udah lama juga kok itu. Lagian kakak bosan denger rengekan kamu  yang minta maaf terus, lebaran masih lama loh," tutur Al. Setiap penggalan kalimatnya memang terdengar tulus. Namun bukan berarti tidak berbekas pada hati Al.

Masih ingat, hari Minggu waktu itu? Saat Al yang antusias menjemput El dan Tiffany di rumah sakit. Dan pada akhirnya, Al kembali pulang ke rumah sendirian, seperti ia berangkat ke sana sebelumnya. Ibaratnya, Al sedang mengikuti lomba, dan dijalan ia terkena musibah, lalu, setelah itu apa yang terjadi, Al pulang tidak membawa apa-apa.

Dan kejadian itu benar-benar terjadi pada Al. Ia pulang ke rumah tidak membawa hasil apa-apa, tidak bersama sang mamah ataupun adiknya. 

Dari yang Al tahu, semua yang terjadi bak lika-liku itu dalang utamanya adalah Tiffany. Memangnya siapa lagi?

'Iya kak, waktu El masih kasih kabar sama kakak. Mamah ternyata udah susun rencana,  El juga lihat kakak yang masuk ke lift. Di sana El udah ada di lantai bawah, ngomong-ngomong soal suster itu, mamah emang udah ada kerja sama, peran suster nyebelin itu cuman buat ngulur waktu aja biar Kak Al jadi lama di sana."

Kenapa El tidak berteriak? Tidak tahu saja ia tahu bentukan sifat Tiffany seperti apa. Apapun bisa wanita itu lakukan. Mungkin, jika Tiffany memiliki jiwa keturunan psikopat, wanita itu sudah lama melenyapkan putranya.

"Sekarang kamu yang ngelamun, udah sih lupain El, buru sarapan," titah Al yang menyodorkan satu piring yang isi nya roti yang sudah ia olesi dengan selai kacang kesukaan El.

"Oh iya kak, pulang sekolah nanti, kita enggak langsung pulang dulu enggak papa? Aku ada urusan sama Cello. Enggak papa kak?"

"Urusannya penting banget? Kalau iya, kakak enggak bisa ikut nemenin kamu El, nanti pulangnya kakak naik taxsi aja, atau minta jemput Ayah, kamu sama mang Asep aja ke rumah Cello," ujar Al yang berjalan menuju kompor, mematikan api kompor setelahnya.

"Ya eng—"

"Ketimbang temenin adik kamu aja, kamu ada aja alasan, apa salahnya sih kamu tuh ikut anter adik kamu, lagian di rumah juga kamu tidur, duduk, makan, tidur, duduk makan lagi, seenggaknya hidup kamu tuh ada gunanya dikit. Pantes aja penyakit betah terus di tubuh kamu, kamu nya aja pemalas, tcih!"

Seperti ada sengatan listrik. Tubuh Al mendadak menegang, El melirik ke samping yang ternyata ada Tiffany yang baru saja bangun tidur, terlihat sekali wajah khas orang bangun tidur, tak lama setelahnya disusul Baswara yang sudah rapi dengan stelan kemeja hitam.

"Eng-enggak gitu mah, Al emang enggak bisa ikut anter El. Bukan alasan aja kok, tapi emang eng—"

"Halah, malas mah bilang aja malas. Udahlah El, pokoknya nanti dia ikut, kalau kamu kedapetan pulang tanpa El, awas aja!"

"Masih pagi Fany, enggak usah ribut-ribut," ucap Baswara setengah melerai. Dari pagi sampai malam, ia tidak pernah melihat keluarganya itu akur barang sebentar saja.

"Terus aja bela dia. Kamu sama dia itu sama-sama laki-laki yang enggak guna!"











D I B A L I K   N E S T A P A
©2023

🍂

Ya ampun Al ganteng banget gak sih, Al siapa yang punya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ya ampun Al ganteng banget gak sih, Al siapa yang punya? ......... ya Mama Abi nya lah hehe 😹👋

Dibalik Nestapa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang