14. If🍂

314 43 1
                                    

Melelahkan.

Bagi Alukka kata tersebut benar-benar cocok untuk hidupnya yang monoton, hidupnya yang terus berteman dengan rasa sakit dan bagaimana ia sebisa mungkin menjaga mentalnya agar terus tangguh.

Tuhan masih ingin menguji kesabaran Alukka kembali, dengan keadaan yang sekarang melawan Tias. Dengan sisa tenaga yang Al punya, remaja itu terus menahan serangan Tias yang semakin membabi buta.

Dalam hati Al, ia bergumam semakin jauh, kenapa Tuhan masih ingin melihatnya seperti ini, jika saja uji coba pembunuhan yang Tias lakukan berhasil, maka semuanya selesai.

Selesai dalam alur hidup Alukka. Bukan alur hidup keluarganya.

"Oma, berhenti, apa yang oma lakukan!"

Bukan Alukka yang tuli sekarang, namun Tias. Wanita tua itu seakan tidak bisa mendengar apapun, ia juga seakan tidak bisa melihat bagaimana raut wajah kesakitan cucunya. Semua yang ia lihat hanyalah dendam masa lalu. Diri Tias sekarang seperti bukan dirinya sendiri yang menguasai.

"Mati kamu!" tekan Tias.

Al melempar kuat bantal tersebut sampai mengenai pintu. Ada sedikit rasa lega, saat Tias tidak memiliki benda apapun untuk mencelakainya sekarang.

Namun, siapa sangka, jika saja seseorang sudah ada dendam dan perencanaan untuk membunuh seseorang, segala cara akan muncul begitu saja.

Dan benar begitu, maka yang wanita itu lakukan sekarang adalah menggerakkan tangan keriputnya untuk menguasai leher Alukka.

"O-oma!"

Udara seakan menjauhi Al saat dua tangan Tias secara tidak terduga menguasai lehernya. Tidak ada raut wajah belas kasih pada Al, Tias menatap Al dengan senyuman kemenangan. Ia seperti merasa puas, melihat mangsanya yang tidak bisa melakukan apapun.

"Setelah percobaan pertama gagal, sekarang enggak lagi! Kamu mau tahu sesuatu enggak?"

Dua sudut mata Al sudah berair, ia tidak lagi melawan karena memang tenaganya sudah terkuras habis. Yang ia lihat, Tias seperti malaikat kematian yang kini sedang menjumpainya untuk menutup kisah di dunia.

"Apotek? Elfariz? Dan tusukan. Saya rasa kamu bisa menebaknya, bukan 'kah kau ini anak pintar ya di sekolah? Manis banget wajah kamu saat-saat kaya gini." Tias tertawa, ia semakin puas saat Al sudah tidak lagi memberontak, bahkan wajahnya sudah menampilkan rasa pasrah yang ketara.

"O-oma yang me-melaku-"

"IYA! Ups, ketahuan, gimana cucuku, kamu mau ngadu iya, hm? sama laki-laki brengsek itu hah?! ngadu aja sana, siap-siap aja bukan cuman  meregang nyawa kaya sekarang, tapi nanti kamu  sudah saya kubur hidup-hidup!"

Tias mendorong tubuh Al, bersamaan dengan cekikan yang terlepas, Al terbatuk, ia meraup oksigen dengan rakus. Nampak kemerahan disekitar area lehernya, dan kini, ia tidak berani untuk menatap Tias yang masih senantiasa tertawa lepas.

"Kamu mau tahu sesuatu lagi enggak, kamu mau tahu kalau ka—"

Al melepas dua alat bantunya dan melemparkannya asal, cukup sudah, Al tidak ingin mendengar apapun lagi.

"Enggak, udah, oma, oma boleh keluar. Tinggalin Al sendiri, Al mohon, u-sudah cukup oma ...,"

Bukannya keluar, Tias semakin gencar mengganggu Al yang jelas saja tidak sedang ingin diajak bercanda seperti ini. Tias dapat mendengar jelas suara langkah kaki seseorang yang sedang berjalan menuju kemari, dapat wanita itu dengar pula, seseorang itu tengah berbincang lewat telpon sepertinya.

Senyum terbit kembali pada wajahnya, dengan segera Tias terjatuh tiba-tiba dengan sengaja. Al yang tidak tahu apapun bingung saat Tias terjatuh tanpa ada yang mendorongnya.

Bersamaan dengan pintu yang terbuka, Tias merintih membuat orang yang baru saja membuka pintu terkejut sekaligus bingung.

"Oma? Oma kenapa?"

Seseorang itu Elfariz. Remaja yang berbeda satu tahun dari Al itu masih menggunakan seragam sekolah, lengkap dengan sepatu dan nampak terburu-buru sekali.

"Kakak kamu dorong oma El, oma tahu sikap oma emang enggak baik, tapi apa pantas dia lakuin hal kaya gini sama orang tua," ujar Tias sambil menunjuk Al yang kini hanya diam. Ia tidak tahu, percakapan apa yang sedang oma dan Elfariz katakan.

Elfariz ikut melirik Al, antara percaya dan tidak percaya Elfariz dibuat bingung. Karena memang posisinya yang pas, dan Elfariz sedang dalam keadaan tidak baik, maka yang ia katakan hanyalah ujaran kekecewaan.

"Tolonglah kak, selama ini aku hormat sama kakak karena kakak ini lebih tua dari aku, kak Al yang lebih tua apa enggak bisa memperlakukan orang yang lebih tua juga? Ka—ck! Ah percuma aja, kak Al  enggak akan denger! Dasar tuli, nyusahin!" umpat Elfariz tanpa sadar mungkin jika Al mendengarnya, hatinya kembali teramat sakit.

Al paham sekarang, bagaimana Tias yang tiba-tiba terjatuh sendiri, berakting layaknya ia yang mendorong, dan mengadu pada Elfariz. Terakhir, adiknya menyudutkan semua kesalahan yang bahkan tidak ia perbuat, bahkan, korban sebenarnya di sini adalah Al.

Hanya, Alukka.

"Sudah lupain El, sekarang kamu ada apa kesini? Ada yang ketinggalan?" tanya Tias seraya menyibak sebagian poni El yang menutupi matanya.

Elfariz menghela napasnya pelan lalu menatap teduh wajah Tias. "Ada, tadinya El mau pinjam contoh makalah yang udah kak Al buat, tapi enggak jadi, udah enggak mood lagi. El mau pinjam sama kak Rey aja, El balik ke sekolah ya oma, baik-baik di rumah."

"Iya sayang, hati-hati di jalan ya, mau oma antar sampai depan?"

"Enggak perlu oma," tolak El lembut. Ia lantas segera pergi tanpa kembali menoleh pada Al yang kini menatapnya sendu.

Usai kepergian El yang benar-benar terlewat sekitar satu menit, Tias kembali mendekat pada Al. Ia menarik dagu Al, dan memberikan senyuman remehnya.

"Selamanya, kamu enggak akan pernah bahagia Al, sebagai seorang tokoh utama yang udah berani  hancurin sebuah jalinan keluarga besar saya, kamu enggak berhak mendapatkan bahagia di sini. Selamat bersenang-senang haha!"

Meskipun Tias tahu rasanya percuma berbicara dengan mengancam Al, ia tetap saja menjalankan perannya yang tidak memiliki hati, kejam dan tidak berperasaan. 

Tepat setelah Tias pergi, Al menunduk, dua matanya mulai berembun dan buliran air bening mulai meluncur dengan deras. Ia memang laki-laki, tapi ia juga manusia. Bisa menangis saat terluka, bisa sakit hati saat diperlakukan tidak baik.

Ini bukan tentang kenapa laki-laki menangis? Memangnya hanya perempuan saja yang boleh? Terkadang, menangisnya seorang laki-laki itu memang benar-benar sudah tidak tahu lagi, bagaimana ia bisa melepaskan semua beban yang ada. Rasa tidak enak hati, yang selama ini ia pendam sendirian.

Maka yang bisa dilakukannya hanyalah itu.

"Kak, tadi ayah ketemu sama rek—"

"Eh, kenapa kak?"

Baswara menaruh kresek obat pada nakas dengan sembarang, dan kini fokusnya pada Al yang terisak. Seperti yang sering Baswara lakukan, ia menarik putranya dalam dekapan, membiarkan Al terus menangis, dan tidak membiarkannya cerita sebelum benar-benar merasa tenang.

"Enggak papa ... nangis aja, nanti ayah tagih hutang cerita sama kamu kak," ucap Baswara yang jelas tidak didengar oleh Al.

'Sakit yah ...,"

'Al tarik kata-kata Al lagi yah, Al enggak mau nunggu mamah buat baik sama Al, Al enggak akan nunggu mamah buat berubah ...,"

Gumaman Al seakan bisa Baswara dengar, maka pria itu semakin mendekap putranya erat. Seperti sedang menstransfer kekuatan dan tenaga untuk Alukka. Kata sayang yang sering diucapkan Baswara bukan hanya sekedar ucapan.

Ia benar-benar menyayangi Alukka. Tanpa celah apapun ... andai Alukka tahu, seberapa besar Baswara mempertahankan keberadaannya sekarang. Mungkin Alukka setidaknya masih berkata, aku masih punya ayah, aku harus bahagia bersama Ayah, andai.

Banyak kata andai, yang Baswara harus sesali saat tidak bisa berbuat apa-apa kembali.












D I B A L I K  N E S T A P A
©2023

Dibalik Nestapa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang