19. Peace 🍂

353 43 1
                                    

Stupid!

Sudah ada kesepuluh kalinya El melempar batu-batu kecil pada genangan air selepas hujan turun. Dua matanya meliar ke seluruh sudut jalan, lalang lalu kendaraan tidak begitu banyak, menyisakan para pedagang kaki lima yang terus mencari pendapatan demi memenuhi nafkah keluarga.

Sudah tidak heran lagi, kota Jakarta dikenal dengan julukan The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding dengan  New York City (Big Apple) di Indonesia. Selain kata Metropolitan, juga megapolitan menghiasi nama Jakarta, kota ini pun sering masuk ke dalam berita televisi, juga kota yang sering didatangi pengunjung turis luar untuk berkunjung.

Elfariz tinggal di dalamnya, namun hidupnya tidak seindah nama kota Jakarta dan nasibnya tidak secantik julukan yang diberikan untuk kotanya.

El hanyalah seenggok daging yang diberikan nyawa, tidak lebih dari itu.

"Ngelamun ae lo, kerasukan setan jalanan gua enggak tanggung jawab."

El melempar tatapan tajam pada temannya—Cello. Yang sudah siap sedia mengizinkan Elfariz menginap di rumahnya, dan terhitung, ini sudah hari ke dua, El tidak pulang ke rumahnya sendiri.

Berpuluh puluh kali ponselnya terus menampilkan notifikasi dari orang-orang rumah, tidak sampai itu, bahkan Baswara terus mengiriminya pesan, juga panggilan telepon yang berakhir mati dengan catatan tidak terjawab, bukan Baswara tidak ingin mencari El, namun masalahnya bukan hanya Elfariz saja, Baswara masih harus menuntaskan masalah yang lain.

Haruskah El menarik kata-kata kemarin?

'Tolong dengarin aku, jangan cuman mau dimengerti aja.'

Sekarang, bagaimana jika Baswara yang berkata seperti itu. 'Bisa kamu paham El? Bukan cuman kamu yang punya masalah, jangan berlagak jadi orang yang paling menderita di sini.'

Seperti apa reaksi Elfariz setelahnya nanti? Cello membuang napas panjang, lantas menarik bahu temannya agar menghadap saat ia berbicara.

"Bokap sama kakak lo ada di rumah gua. Sekarang, lo ikut gua pulang," ujar Cello, namun dengan cepat El menepis tangan Cello.

"Siapa kamu nyuruh-nyuruh? Aku enggak mau pulang," tolak El lalu kembali membelakangi Cello. Peris sekali, seperti anak perawan yang tengah merajuk.

"Terus, lo mau tidur sama makan di mana? Mau jadi gembel jalanan lo? Gua enggak mau ya nampung lo lagi, serasa punya dosa besar gua sembunyiin anak yang dicari keluarganya, datangi mereka El, kalo beneran laki, punya masalah dihadapin bukan kabur-kaburan!"

Kalimat panjang Cello langsung menyentak hatinya. Perkataan Cello tidak sepenuhnya salah, memang benar. Seharusnya El tahu itu, Cello sudah ingin menampung dirinya saja sudah harus mengucap syukur.

"Kelamaan mikir, gak usah mikir sih lo, gak ada otak." Cello menarik paksa El dan kini berjalan menuju rumahnya yang terletak tidak begitu jauh.

Al melirik jam dinding yang terpasang tak jauh dari pandangannya, sudah pukul sepuluh, dan terhitung mereka menunggu kepulangan Cello untuk membawa Elfariz sudah ada setengah jam, Al menelisik setiap sudut rumah Cello, megah, tidak jauh berbeda dari rumahnya.

Di samping figura besar, terdapat jejeran foto yang sudah terlihat usang dan berdebu, mungkin sudah lama berada di sana, dan pemilik rumah ini tidak tertarik untuk membersihkan atau mengganti figura nya dengan yang baru.

Satu orang, yang Al tahu itu Cello dan satu lagi laki-laki bertubuh jangkung yang mungkin saja kakak dari Cello, setiap foto yang Al lihat, jarang ada, bahkan tidak ada satu pun foto yang berisikan keluarga, baik ayah Cello, ataupun ibunya, tidak ada sama sekali.

Dibalik Nestapa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang