Di dunia ini, ada dua perihal tentang hidup. Satu datang, dan dua pergi. Satu dilahirkan lalu dikembalikan.
Tanpa sadar, selama kita hidup. Waktu terus mengejar, sampai mana kita bertahan, sampai mana kita berjuang. Tidak ada yang tahu, nasib kita besok seperti apa bukan. Maka yang Alukka lakukan selama ia hidup, dan diberikan waktu, ia menggunakannya dengan sebaik mungkin.
Selain ia menyukai sepi, Al juga suka saat melihat dedaunan yang sudah mati berguguran mengenai tanah. Baginya, daun yang sudah mati itu adalah dirinya sendiri. Saat masih hijau, terlihat begitu segar dan kokoh sekalipun ditiup oleh angin kencang, namun, lama-kelamaan, hijau yang cantik itu berubah menjadi coklat dan kering, singkatnya. Manusia juga punya batasan untuk berjuang, dan pada akhirnya kalah oleh rasa lelah.
"Ish!" Al berdecak sebal, jarum yang ia pegang tergelincir dengan tidak sengaja dari tangannya, dan kini bergelinding jauh dari tempat ia duduk.
Al terdiam membungkuk di depan kaki seseorang yang dibalut heels hitam, juga rok panjang semata kaki. Jarum suntiknya berhenti tepat sekali di sana.
Sebelum tangannya lebih dulu mengambil, ada tangan lain yang mendahului pergerakannya. Sesaat Al terdiam, sebelum disadarkan oleh wanita yang kini menyodorkan alat penting itu padanya.
"Makasih tante." Al membungkuk hormat, ia melihat sekilas wajah familiar milik wanita berambut sebahu itu.
"Kamu butuh bantuan? Biar saya bantu." tangan wanita itu mendarat pada bahu Al, ia sedikit mundur ke belakang seraya menggeleng.
"Eh, enggak us—"
"Udah ayo saya bantu." Al digiring duduk ke tempat semula. Kini, Al tidak lagi sendirian, ada seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Tiffany.
"Kamu ada riwayat diabetes ya?"
Al mengangguk.
"Tipe berapa?"
"Satu."
Wanita itu kembali mengangguk. Seperti sudah lihai, Al terlihat takjub sekali, ini pertama kalinya ia dibantu seseorang, yang tidak Alukka kenali. Ah, lebih tepatnya, belum Al kenali sepenuhnya. Atau ... mungkin sudah?
"Dulu, saya juga pernah rawat ayah. Beliau juga punya diabetes yang sama kaya kamu, tapi sekarang beliau udah enggak ada, saya harap kamu selalu sehat," ucap nya yang kini membantu Al membereskan alat-alat milik Alukka.
Cukup lama keduanya sibuk masing-masing. Ah, sepertinya hanya Al saja yang mencari kesibukan dengan ponselnya, menggeser-geser aplikasi, mengecek berharap ada pesan masuk yang harus ia balas. Nyatanya tidak, ia jadi lebih canggung lagi sekarang.
"Em... tante, lagi nunggu seseorang?" pada akhirnya, Al berani bertanya. Ia tidak bisa terus-terusan diam seperti patung.
"Ah, iya, nunggu anak saya." wanita itu menjawab, sambil kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, sesaat setelah menghubungi seseorang.
"Tante a—"
"MAMAH!"
Atensi keduanya sama-sama teralihkan pada jalanan. Al ikut berdiri, menatap dengan lama seorang anak perempuan yang kini tengah berlari ke arah mereka. Berbeda dengan wanita itu yang kini tengah merentangkan tangan, tanda menunggu sang anak memeluknya, Alukka malah berlari ke sana dengan tempo yang sangat kencang.
Dari arah kanan, maupun kiri terdapat satu bus, dan satu motor yang berkendara dengan kecepatan tinggi. Sesaat, setelah klakson motor berbunyi dengan nyaring, jantung wanita itu seakan berhenti berdetak, napasnya tercekat dikerongkongan, Alukka berhasil menarik putrinya dan terbebas dari kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Nestapa [✓]
Fiksi PenggemarSejak Alukka mempercayai, apa itu hidup sesungguhnya, Nestapa yang ia maksud tidak selalu tentang kesedihan, juga gambaran-gambaran yang menyeramkan. Poin di sini, mungkin hanya sebuah keluarga. Setelah semua yang menimpanya begitu saja ... Alukka...