20. Black and white flashback 🍂

321 39 1
                                    

Soal masa lalu.

Memangnya siapa sih yang tidak memiliki masa lalu. Entah itu masa yang indah, atau malah sebaliknya, yang jelas semua cerita pada hidup manusia tak lain adalah karena masa lampau, masa yang telah terlewati, dan tidak akan bisa kembali terulang, meski sekeras apapun menginginkan.

Ini tentang Baswara, pria tangguh yang masih bertahan ditengah-tengah badai yang tengah menghujam. Ibarat rumahnya itu adalah sebuah kapal yang tengah berlayar, diterpa badai dan terombang-ambing diancam kehancuran. Baswara berdiri kokoh ditengah-tengah kacaunya keadaan.

Kisah ini tentang masa lalu, saat Baswara duduk sendiri dihalte yang sudah sepi, bahkan suasana yang gelap juga cuaca yang terasa dingin selepas hujan, nyatanya tidak membuat pria itu berniat untuk bangkit.

Pagi tadi, sejak putra pertamanya divonis leukimia, ia dirundung rasa bingung dan sudah tidak lagi bisa berpikir dengan baik.

Puk!

Sebuah jaket abu-abu tergeletak pada dua pahanya, ia mengangkat kepala, menemukan seseorang masa lalu dari istrinya yang tak lain adalah Nathan.

"Ini masih awal, kamu udah kelihatan putus asa." Nathan duduk di samping Baswara, pandangannya lurus ke depan dengan dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaket.

"Tentu aja Nathan, kalau kamu punya seorang anak pun, semua orang tua juga bakalan sama," balas Baswara tanpa berniat memakai jaket yang dengan senang hati Nathan bawakan untuk menghalau rasa dingin yang semakin menusuk kulit.

"Makanya Wara, saya enggak akan pernah punya seorang anak. Saya enggak tahu apa-apa."

Pria itu terdiam. Kabar putranya sudah diketahui oleh beberapa orang yang memang kenal dengan mereka, maka tidak dapat dipungkiri jika Nathan pun tahu soal keadaan putranya Alukka, mengingat Nathan adalah orang yang gila kerja, rekannya banyak di mana-mana, maka Baswara tidak perlu lagi bertanya, dari mana pria itu tahu keadaan putra sulungnya.

"Saya punya sebuah ide. Tapi, saya kurang yakin, kamu setuju atau enggaknya," celetuk Nathan. Fokus Baswara bukan lagi pada jalanan, ia kini menatap Nathan sepenuhnya.

"Apa?"

"Dengar. Kita sama-sama lagi butuh solusi. Menurutku ini solusi yang baik meski caranya ya ... memang sedikit melenceng. Kamu butuh tali pusat bayi buat nyelamatin anak kamu, dan saya butuh seorang anak buat ngisi kekosongan dalam keluarga kami, kamu pasti tahu Wara, istriku enggak akan pernah bisa punya seorang anak, maka ini cara satu-satunya yang bisa menyelamatkan nasib kita."

"Saya minta izin, buat berhubungan sama istri kamu. Setelah bayi itu lahir, kamu boleh ambil tali pusat nya, dan saya yang akan ngurus bayi nya," sambung Nathan tanpa beban. Bahkan kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulutnya.

Keadaan yang semakin malam, membuat suasana semakin mencengkam. Baswara menatap Nathan tidak percaya, apa yang pria itu katakan? Selain keputusan ini akan merugikan banyak pihak, kesetiaan, keharmonisan, dan kerukunan rumah tangganya juga bisa hancur berantakan.

"Kamu gila, kamu benar-benar enggak waras Nathan. Enggak, aku enggak mau!" tolak Baswara keras.

"Tapi ini semua demi keselamatan putramu juga 'kan? kamu enggak mau lihat, anak kamu mati sia-sia 'kan setelah dia berjuang panjang nantinya, kamu masih mau lihat dia tumbuh dewasa 'kan? Kamu masih mau lihat dia hidup bukan Baswara?!"

Angin menjadi pengantar kesunyian yang kini melanda dua pria yang tengah berperang dalam pikirannya masing-masing. Cara yang diusulkan Nathan teramat salah, Tiffany adalah istri sah nya, dan dengan ia menyetujui semuanya, maka bukan hanya kekecewaan yang ia dapatkan dari Tiffany, namun ia tidak menjamin hidupnya untuk kedepan akan berjalan baik.

Meski, dengan catatan, putranya sembuh dari kematian.

"Kamu enggak harus jawab sekarang, saya kasih waktu tiga hari, pikirkan baik-baik Wara kalau kamu enggak mau lihat anak kamu mati gitu aja. Saya mau bukti, kalau kamu adalah seorang ayah yang bertanggung jawab."

Setelah itu, Nathan bangkit, meninggalkan Baswara yang kini terdiam, otaknya berpikir dengan keras. Dua tangannya terkepal, malam ini, menjadi titik terendah Baswara setelah ia berperan menggunakannya topeng tebalnya setiap saat.

Keadaan yang kacau, membuat Baswara tidak dapat berpikir dengan benar, maka saat itu, malam itu, disaksikan ribuan bintang, dan sinar dari rembulan, Baswara dengan lantang menyetujui usulan yang diberikan Nathan.

Tin tin!

"Yah, udah lampu hijau!"

"A-ah iya, iya."

Pukul 9 malam. Baswara, Elfariz dan Alukka baru saja di perjalanan menuju ke rumah. Insiden siang tadi di kafe, dan Al yang sempat dilarikan ke rumah sakit, bahkan saat itu langsung dimasukan ke dalam IGD. Membuat Baswara maupun Elfariz dilanda rasa cemas dan takut.

Masih tidak percaya, saat Dokter keluar dengan memberi kabar yang mengejutkan. Efek yang diberikan Al tak lain adalah penyebabnya karena alkohol.

Saat itu, Baswara langsung menghubungi rekan kerjanya untuk menuntaskan masalah putranya dengan kafe yang tak lain adalah milik Nathan, setelah semua proses dilakukan, ini hanyalah kesalahan pelayan yang menuangkan Vodka pada gelas yang salah, menyebabkan pesanan Baswara menjadi tertukar oleh pesanan yang lain.

Dan sialnya, kenapa harus Alukka yang meminum itu. Sebagai penderita diabet, saat ini tekanan darahnya menjadi rendah. Setelah mendapatkan perawatan yang tidak harus menginap berhari-hari, pukul tujuh delapan malam tadi sudah diperbolehkan untuk pulang.

Dengan saran, harus beristirahat dengan baik dan pola makannya harus lebih diperhatikan.

"Duluan ya, ayah mau masukin mobil." El mengangguk, menunggu Al turun dan menuntunnya untuk segera masuk ke dalam rumah.

Belum sempat El meraih gagang pintu, pintu minimalis yang terbuat dari kayu jati itu terbuka dengan lebar, dibalik itu semua, ada Tiffany yang menatap keduanya khawatir. Pandangannya beralih pada Al yang hanya diam, wajahnya masih ketara pucat, dan dua kakinya yang terlihat sudah tidak ingin berdiri lama-lama.

"Mah, diem aja. Bantu nih, buruan, El kebelet. Anterin sampai kamar ya, awas kalau enggak, nanti El cek lagi ke kamar kakak."

"El tapi i-ehh, Elfariz!" Tiffany membuang napas, saat El sudah berlari meninggalkannya dengan Al yang dititipkan padanya.

Lagi, rasa canggung begitu terasa. Padahal dulu, Tiffany dan Al ini bukan orang asing. Kini dua-duanya terasa berbeda, dan Al kini hanya menopang tubuhnya sendiri pada pintu. Nyaris bersender sepenuhnya karena efek yang diberikan siang tadi masih terus bergelayut manja pada tubuhnya.

"Kau ini bodoh atau gimana, masa enggak bisa bedain Vodka sama minuman biasa." Tiffany kembali berceloteh, namun kini tangannya hendak meraih tangan Alukka.

Seperti ada sebuah sengatan, baik Al maupun Tiffany, jantung keduanya sama-sama berdebar dengan kencang. Dua mata Al memanas menahan tangis, ia benar-benar merasa sedang menjelajahi alam mimpi saat Tiffany benar-benar menyentuh tangannya, bukan lagi sentakan ataupun tepisan. Ini seperti sentuhan hangat kasih sayang.

Entah kenapa, jalan menuju kamarnya terasa cepat. Padahal, jika boleh, Al meminta lebih lama juga tidak masalah.

"Kalau emang ini mimpi, jangan dulu bangunin aku mah ...,"

'Ini bukan mimpi. Kita emang udah seasing itu, sampai kejadian nyata pun kamu meragukannya'

"Enggak usah banyak ngomong. Lebih baik istirahat, kau pikir, buat orang khawatir namanya bukan nyusahin?"











D I B A L I K N E S T A P A
©2023

Dibalik Nestapa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang