15. Change 🍂

339 40 4
                                    

3 hari kian berlalu.

Tidak ada yang berubah di sini. Ah, mungkin belum. Tiffany sudah berada 3 hari di Bandung meninggalkan dua anaknya juga suami dan sang ibu yang masih senantiasa menginap, bukan membuat rumah semakin hangat dan tenang, Baswara nyaris darah tinggi mendengar pertengkaran setiap harinya.

Al datang paling pagi untuk sarapan. Bahkan angka jam masih menunjukkan pukul 05:30. Di meja sudah tersedia berbagai macam makanan, mungkin Baswara yang sudah panaskan makanan yang ia beli semalam. Mana mungkin Tias yang melakukannya, Al menghela napas terus menerus lantaran bosan, rumah sebesar ini tidak ramai dan menyenangkan, benaknya berkata demikian.

"Kamu udah bangun kak, pagi banget, ada urusan di sekolah?" Baswara duduk lebih dulu, bukannya pria itu mandi, ia malah duduk menyapa putranya yang kata Baswara poin utama.

"Enggak ada, cuman ... ah, Al tadi bangun nya kepagian, ayah mau sarapan sekarang?"

Pria itu menggeleng. "No, no, ayah belum mandi. Kamu duluan aja kak, jangan lupa insulin, sini mau ayah bantu enggak, mau disuntik di mana?"

"Al bisa sendiri yah, hari ini mau di tangan, ayah mandi dulu aja sana, cepat. Kasihan bantal ayah jadi korban bikin pulau-pulau terus sisanya masih nempel diwajah ayah."

"Ish, kamu ini paling bisa." Baswara mengusak gemas rambut Al yang sudah terlihat rapi yang barusan sang empu sisir pagi tadi.

Melihat Baswara benar-benar sudah pergi, Al mulai kembali cek gula darah seperti biasa, dari tangga yang menghubungkan langsung dengan ruang tamu, El melihat setiap gerakan kakaknya. Dari Al yang sedang cek gula darah, dilanjut suntik insulin, dan sebagainya. 

Ia menatap miris punggung sang kakak, selama tiga hari ini, El maupun Al tidak saling bertegur sapa, menjadikan mereka teramat canggung jika sudah berdekatan, apalagi mereka satu rumah.

Al melirik ke arah kiri saat mendengar suara kursi digeser seseorang. Rupanya itu Elfariz. Dengan spontan, El menggeser piring yang sudah berisikan nasi dan lauk pauk itu, memberikannya pada sang adik yang kini terlihat tengah memikirkan sesuatu.

"Jangan bengong aja El, habisin sarapan kamu," ujar Al tanpa melihat lagi ke arah sang adik.

Tidak ada yang salah dari pengucapan Alukka. Namun, El merasa ada kalimat dan getar yang berbeda dari ucapan yang sering Al lontarkan, ini seperti sebuah karma. El sempat salah paham dengan Al dan mengatakan hal-hal yang tentu saja membuat lawan bicaranya sakit hati, dan sekarang, ia dibalaskan dengan perubahan Al yang tiba-tiba.

Malam setelah kejadian itu, El merenung sendiri di kamar. Rumah sebesar itu, hanya kamar saja yang tidak dipasang cctv. Baswara bilang, itu privasi, tapi jika sudah ada yang melakukan kejahatan, itu bukan privasi lagi namanya.

Dan El, baru sadar, ada jejak kemerahan yang melingkar pada leher sang kakak saat malam hari ketika ia diam-diam memasuki kamar Al. Ia menyesal sungguh, salahkan saja suasana hatinya yang tidak bisa ia kontrol saat itu.

"You okkay kak? Masih marah sama aku? El tahu, tempo hari emang aku ini kaya lagi  kerasukan reog," tutur El dengan nada yang lesu. Al antara ingin tertawa dan masih kecewa, campur aduk rasanya.

"Tapi serius, aku mau tanya, itu ... oma yang lakuin?"

"El enggak usah ba—"

"Pagi cucu oma." Tias mengecup ujung kepala Elfariz, sekaligus memotong perkataan Al yang sekarang menggantung, tidak sang empu teruskan.

Alukka menaruh kembali sendok yang sempat ia pegang, membereskan segala alat miliknya dan dengan segera memasukkannya pada tas. Elfariz yang melihat itu mendadak bingung, suasana dengan cepat berubah dengan drastis.

"Kak, udah mau berangkat? Makanannya be—"

"Biarin aja El, yang kelaparan dia, yang mati kelaparan juga dia, kamu enggak usah ikut-ikutan," sela Tias menatap tak suka pada Al.

"Oma, El ngomong sama kakak, bukan sama oma. jadi oma tolong diem, oma bilang, kita harus menghormati orang kalau lagi bicara!"

Hari ketiga yang masih sama. Ribut didepan makanan yang jelas tidak baik dan harus dihindari. Al kembali menarik napas, dan kini ia hendak beranjak pergi.

"Oma bener El, yang lapar kakak, yang rasain juga kakak, jadi kamu enggak perlu ikut-ikutan. Sarapan  aja dulu, kakak tunggu di mobil, dan temani wanita tua terhormat itu. Permisi nyonya, silahkan nikmati hidangan anda, ingat kolestrol, jangan makan makanan berminyak terlalu banyak, oma harus masih panjang umur buat nyiksa aku lebih lama lagi." Al membungkuk, dan dengan segera pergi dari sana.

Tias maupun Elfariz merasa tercekat. Tadi itu Alukka? Anak yang mereka kenal dengan baik, dan tidak pernah menjawab setiap omongan? Ah, mereka melupakan satu fakta, Al juga 'kan manusia, bisa berubah kapan saja.

"Anak itu!" Tias mengeram tidak terima. Ia ikut bangkit untuk menyusul Alukka yang sudah tidak terlihat.

Tanpa sadar, El menyisakan waktu yang terus berjalan dengan melihat pertengkaran yang tidak ada ujungnya. Ia memijat pangkal hidung, merasa tidak berguna dalam keluarganya sekarang.

"Anak kurang ajar, udah berani menjawab sekarang. Keluar kamu!" Tias menggedor keras jendela kaca mobil.

"Oma enggak perlu teriak kaya gitu, jangan pukul kaca mobil, nanti rusak, ayah yang repot. Oma mau apa?" Al turun menghadap wanita tua itu dengan tampang yang teramat berbeda.

Tanpa ba-bi-bu, Tias menampar kuat pipi Al tanpa permisi. Panas menjalar dengan cepat, Al terkekeh, ia mengusap pipinya yang kini terasa perih karena perbuatan tidak baik oma nya sendiri.

"Oma suka nyiksa orang tapi enggak berani buat bunuh, aku ini pendosa? Aku ini aib keluarga katanya? Kalau gitu—" Al berlari masuk ke dalam, mengambil pisau buah yang tergeletak tak jauh dari meja makan.

Baswara yang baru sampai, dan Elfariz yang tengah bengong tiba-tiba dibuat terkejut dan dengan segera keduanya berlari mengikuti Alukka.

"Bunuh sekarang oma. BUNUH AJA AKU!" Al memberikan sebilah pisau tajam itu dan meletakkan nya pada telapak tangan Tias.

"Aku manusia oma, aku juga capek lama-lama kaya gini terus. Aku enggak paham, sama persoalan dan masalah kalian semua di masa lalu! Akhiri aja sekarang, oma ...,"

Alukka bersimpuh di hadapan Tias. Bersamaan dengan air mata yang keluar, Tias menjatuhkan pisau tersebut tanpa sadar. Ia tidak menyangka, jika Al akan bertindak sejauh ini. Efek dari yang sering Tias berikan, begitu besar berdampak pada mental Alukka rupanya.

"Udah kak, ayo berdiri, jangan kaya gini." Baswara memegang dua bahu Alukka. Membawanya ke dalam dekapan.

Sedangkan Tias, ia tidak mengatakan apapun lagi dan memilih untuk pergi dari sana. El ikut mendekat, merasa sedih dengan keadaan sekarang.

"El, berangkat sama mang Asep dulu ya, buatin surat izin sekalian, tanda tangan sama kamu aja udah, kakak kamu, hari ini  enggak berangkat, gih sana."

Tidak banyak membantah meski El ingin mengutarakan sesuatu, ia harus paham dengan keadaan sekarang, tidak boleh egois, tidak boleh. Meski di sini tidak tahu, siapa yang egois sebenarnya.

"Jangan sedih El, sore nanti kamu bilang, mau sepedaan? Nanti ayah temani, udah sana berangkat, hati-hati," pesan Baswara kembali.

El hanya tersenyum kecil, dalam lubuk hatinya ia berharap lebih, untuk sore nanti, Baswara tidak akan kembali mengingkari janji.

"Ayah enggak perlu kaya gini, harusnya ayah temani saja El, kesannya aku terlalu egois. Pagi hari yang harusnya berjalan baik, mendadak kacau. Semua salah Al, oma ada benarnya juga, aku cuman nyusahin."

"Kalau oma bisa ngomong gitu, ayah juga bisa nyangkal kak. Anak itu sebuah anugrah, enggak ada yang nyusahin, enggak ada juga yang enggak berguna, semua anak punya versi masing-masing, baik kamu maupun El. Ayah tahu kepribadian kalian."

Ia tidak paham dengan semua alur rumit yang terciptakan. Tentang asal-usul keluarga, atas segala pemahaman yang sering Baswara katakan, tentang Tiffany dan dunianya sendiri. Al tidak paham, dan poin utama yang sekarang ingin ia raih hanyalah satu, ia ingin mengakhiri ini semua, dengan akhir yang bahagia, bukan sebaliknya.










D I B A L I K   N E S T A P A
©2023

Dibalik Nestapa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang