11. Sorry Sis🍂

340 40 2
                                    

“Hidup tidak pernah mudah. Ada pekerjaan yang harus dilakukan dan kewajiban yang harus dipenuhi – kewajiban terhadap kebenaran, keadilan, dan kebebasan.” — John F. Kennedy

--

Kebebasan. Menurut John, hidup itu salah satunya memenuhi kewajiban, yakni tak lain adalah kebebasan. Maksudnya, kebebasan disini bukan menjerumus ke arah hal-hal yang negatif.

Ada dua hal dalam diri Alukka soal sakit hati dan kecewa. Satu, ia akan teramat kecewa dan sakit jika dirinya sendiri gagal dalam segala hal, kedua, Al akan teramat merasa tidak berguna, saat orang yang ia sayangi justru melakukan hal yang tidak pernah Al ajarkan sebelumnya. Bahasa kasarnya, Al merasa sangat bodoh, tidak bisa menjaga sesuatu yang ia jaga dari dulu.

Tidak perlu dijabarkan sesakit dan sekecewa apa rasanya. Yang jelas, ini sama halnya dengan penghianatan, mungkin?

"Kak ...,"

"Diem El, ganti baju kamu sana, kamu enggak pantas pakai seragam sekolah, percuma aja, sikap kamu sama sekali enggak mencerminkan anak sekolah, El kasihan ayah yang banting tulang buat sekolahin kamu, terus balasan kamu malah mau mencoreng nama baik ayah? Iya?"

El menggeleng kecil, ia mengulang kegiatannya sedari tadi dengan memilin bajunya sambil terus menunduk. Enggan untuk sekedar mendekati sang kakak, yang sedari tadi memunggunginya.

"Kakak salah apa sih El sama kamu? Seberat apa masalah kamu Elfariz, kamu udah enggak butuh kak Al lagi? Yaudah keluar sana, jangan ngomong sama kakak lagi!" Al berujar tegas, lalu menjatuhkan kepalanya pada lipatan tangan.

Posisinya sekarang, Al berada di kursi meja belajar, dan El yang duduk di atas kasur Al. Yang lebih tua membelakangi saudaranya, terlanjur kecewa, dan sekarang ia merasa gagal mendidik El untuk terus menjadi anak yang baik. Alukka tahu, usia seperti itu memang selalu tergiur oleh hal-hal yang belum pernah dicoba sebelumnya.

"Enggak gitu kak, maaf. Jangan marah, El minta maaf."

Remaja dengan nama tengah Bagaskara itu semakin menunduk, hatinya ikut sakit saat mendengar Al yang terisak, dan melihat wajah kakaknya penuh dengan pancaran kecewa.

El bangkit, lantas mendekat pada Al yang kini masih terisak. Punggung Al bergetar, membuat El semakin merasa teramat bersalah.

"Kakak ... maaf."

Seberat apapun rasa kecewa Alukka pada Elfariz. Ia tidak akan pernah bisa marah dan mendiamkan El terus menerus, sebagai seorang yang lebih tua, meski hanya bertaut satu tahun, tanggung jawab sebagai seorang kakak, tentu saja murni harus selalu Al jaga.

Adiknya ini bukan siapa-siapa yang perlu dibiarkan jika bersalah, dan didiamkan ketika bertingkah. Elfariz adalah adiknya, saudaranya, kelak dia yang akan menjadi teman masa hidupnya saat tua nanti.

"Mau diulangi lagi El?"

Dengan cepat El menggeleng, ia bersumpah tidak akan melakukan hal konyol itu lagi. Ia tidak ingin melihat Al yang menangis, ia tidak ingin melihat kakaknya kembali ia buat kecewa dan sakit.

Al tersenyum tipis, lantas membalikan kursi dan merentangkan tangannya. Elfariz memeluk erat tubuh sang kakak, air matanya kembali lolos keluar, benar memang, jika kita berada dalam fase stres dan bingung, terkadang, kita lupa jika kita masih memiliki orang terkasih yang bahkan mungkin mau mendengar keluh kesah kita saat terpuruk.

Dan, El hanya terburu-buru untuk memutuskan sesuatu. Juga, dengan pikiran dan keputusan yang dangkal, ia memilih jalan yang salah, dan sekarang berakhir seperti ini.

"Nanti malam, kamu hadap ayah, sekarang sana ganti baju, jangan sampai kamu ikut diwawancarai mamah," ujar Al sambil merapihkan poni El yang sedikit menghalangi sebagian mata adiknya itu.

Dibalik Nestapa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang