Lexie kembali ke kamarnya di lantai dua. Ya, untuk malam ini, Lexie memutuskan menginap di kediaman orang tuanya.
Dia berniat untuk berendam air hangat agar sedikit lebih segar karena dia merasa tubuhnya sangat lelah setelah menerima banyak informasi soal perusahaannya hari ini.
Lexie menatap langit-langit kamar mandi sambil merebah di bathtub yang dipenuhi busa sabun dan merendam setengah dada dan badannya.
Mengingat kembali ucapan Sydney... Kemudian dia ingat juga kebenaran yang telah Luke sampaikan.
Lexie dilema, dia kemudian memejamkan matanya dan perlahan memerosotkan tubuhnya hingga terendam sepenuhnya di dalam air sampai kepala.
Sementara tak jauh dari kamar Lexie, terdapat sebuah ruang kerja... Dan di sanalah saat ini ayahnya membereskan beberapa berkas untuk dia bawa ke Perancis nanti subuh.
Dan seseorang mengetuk pintu ruang kerja.
"Masuk saja. Aku tak terlalu sibuk" ujarnya.
"Dad" suara berat itu membuat Alexaro menoleh.
Lexie lah yang membuka pintu dan menghampirinya malam itu. Ini sudah 30 menit kemudian usai Lexie mandi. Dia masih pakai bathrobe dan rambutnya masih agak basah setengah kering.
Alexaro tak terlalu bereaksi berlebihan, melihat Lexie yang berdiri di sana dan menutup pintu, dia kembali lagi fokus pada berkas-berkas di mejanya.
Hening, Alexaro tak memberikan sepatah katapun. Begitu juga Lexie yang masih terdiam di sana menatap sang ayah yang sibuk dengan map dan kertas. Lexie menelan ludahnya.
Kemudian dia melangkahkan kakinya sedikit. "Mau kubantu, dad?" Tawarnya.
"Tak perlu. Aku sebentar lagi selesai" katanya masih agak serius dan lirikan sekilas kepada Lexie.
Lexie terdiam lagi, sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia katakan pada Alexaro, tapi dia takut Alexaro tak menyambutnya dengan baik.
Lexie tertegun dan mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan apa yang ingin dia katakan, lalu kemudian tiba-tiba sang ayah membuka suaranya lagi. "Dengar, Lex. Dad minta maaf karena tadi begitu keras padamu" ujarnya.
Lexie kemudian segera menatap ayahnya dengan sedikit heran, "Huh? O-oh... Ya, gak apa dad" jawab Lexie.
Kemudian Alexaro menyambung lagi, "Aku sudah bicara pada Nolan, dan sepertinya kau tadi jujur. Nolan sudah memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi. Nanti dad akan bicara pada dewan korporat untuk memberi peringatan dan pemberitahuan secara resmi bahwa kau takkan lagi bergabung dengan perusahaan. Dad mengerti mungkin kau masih belum siap untuk ini. Apalagi sekarang keadaannya sedang rumit, kau pasti akan kewalahan"
"Soal itu..." Ujar Lexie dengan hati-hati, dan ayahnya sampai menghentikan kegiatannya untuk menatap Lexie dengan saksama. "Aku... Baru akan bilang pada dad, apakah aku juga boleh ikut ke Perancis untuk mempelajari permasalahan ini? Siapa tahu aku bisa bantu di perusahaan" Lexie membuang napasnya setelah mengatakan itu dengan keberanian yang dia kumpulkan sejak tadi.
Alexaro kemudian mengernyit, ekspresinya masih seserius tadi dan tangannya yang memegang berkas kemudian meletakkan berkas itu lagi ke meja dengan agak sedikit membanting, melihat hal itu, Lexie segera menyelak lagi.
"Uhm... Tapi, itupun jika kau memberi izin"
Dan tanpa Lexie duga, kemudian nampak senyum kecil di bibir Alexaro yang perlahan mulai mengembang lebar
"Kau tidak bercanda kan, anakku?" Katanya kini menampilkan kesemringahan. Lalu dia meninggalkan berkas-berkas itu dan mendekat pada Lexie yang masih diam mematung di sana. "Oh, ya ampun. Aku tidak sedang bermimpi, kan? Anak lelaki sulungku, Alexio London Finneas mau ikut dalam perjalanan bisnis?" Ujar sang ayah sambil terkekeh, kemudian Lexie hanya mengangguk dan tersenyum kecil pada Alexaro. "Tentu saja kau boleh ikut. Kau bisa ikut kapanpun kau mau, Lexie! Aku akan sangat senang memperkenalkanmu pada klien bahwa kau adalah pewaris perusahaan kami" dia memegangi pipi Lexie dan menepuk-nepuknya dengan girang.
Lagi-lagi Lexie hanya bisa tersenyum getir melihat kebahagiaan tak terhingga dari wajah sang ayah.... Yang tentunya, selama ini jarang sekali Lexie lihat semenjak dirinya tumbuh dewasa dan keluarganya sibuk dengan perusahaan mereka yang juga ikut tumbuh besar seiringan bersama dengan Lexie.
"Aku juga sudah memikirkan dengan matang... Mungkin aku akan mulai menerima tawaran kakek dan kau untuk bergabung dengan perusahaan" sambung Lexie lagi dan ini makin membuat senyum sang ayah sangat-sangat lebar, wajahnya kembali memerah dan urat-urat di lehernya tampak samar menghiasi wajah tampan yang sudah hampir keriputnya, mirip seperti yang tadi saat dia marah, namun kali ini wajah kemerahan itu sedikit memiliki warna rona merah muda, yang mengisyaratkan bahwa dirinya gembira dengan keputusan Lexie.
Dia memegang kedua bahu sang anak, kemudian mengangguk, "Baiklah... Kalau begitu, nanti setelah kita dari Perancis, kita akan segera membuat pengumuman resmi" Lexie pun ikut mengangguk dengan senyum simpul. "Ah... Anakku, akhirnya kau mulai membuka matamu. Kemarilah, peluk dad" katanya
Lalu Lexie memeluk sang ayah yang kini tingginya hampir berbalapan dengannya. Lexie merasa aneh dalam hatinya... Ya, antara senang, gundah dan pilu seakan menyelimuti dan bercampur jadi satu.
Dia senang melihat ayahnya bisa tertawa dan tersenyum lagi seperti saat Lexie masih kecil. Bahagia karena melihat Lexie yang selalu memerhatikannya, dan merasa gundah atas keputusannya, apakah dia benar-benar sudah sanggup menjalani kehidupan baru dengan perusahaan? Dan juga pilu, pilu karena dia berpikir... Apakah setelah ini dia tetap bisa mempertahankan hubungannya dengan Sydney? Karena dibalik setiap keputusan besar, pasti akan ada konsekuensi dan risiko yang lebih besar untuk ditanggung.
Belum lagi dia juga akan menghadapi soal pertunangan itu. Karena kebanggaan orang tuanya sedang dipertaruhkan. Ya! Perusahaan ZurLex juga sedang mengalami kesulitan tak kalah besarnya dari perusahan sang kakek, dan semua bebannya tentu ada di pundak Lexie.
"Ayo beritahu mommy-mu. Kebetulan dia juga belum tidur karena masih membantuku mengepak barang untuk ke Perancis"
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
10:23 pagi.
"Jadi... Jika kita bisa mengompres sedikit biaya operasional, maka mungkin itu bisa memudahkan audit kita dalam periode quartal ini..."
Di dalam ruang meeting di kantor Sydney, seorang rekan kerja Sydney sedang memberikan presentasinya pada para klien dan atasan di sana.
Sementara Sydney tampak tak terlalu fokus karena sesekali dia menatap ponselnya setiap beberapa menit.
Pasalnya, dia belum menerima satu balasan pesanpun dari Lexie sejak semalam, jadi dia tampak gelisah dan tak sadar bahwa beberapa klien dan salah satu atasannya memerhatikan gerak-geriknya.
"Nona Sydney Corzo, bagaimana pendapatmu tentang presentasi yang satu ini?" Tanya sang atasan yang masih belum bisa menyadarkannya dari kegalauan sambil menatap layar ponsel. Teman di sebelah Sydney meliriknya.
"Nona Sydney? Halo?" Kata sang atasan lagi mencoba menarik perhatian Sydney untuk fokus pada meeting.
"Hey, Sydney! Sydney! Mr. Stirling bertanya dan dia memerhatikanmu" bisik teman di samping Sydney sambil menggoyangkan tangan Sydney sehingga membuat Sydney segera tersadar ke realita.
"Ah! O-oh iya, pak?" Ujarnya menatap pak Stirling yang wajahnya tampak masam dengan tatapan membunuh dan bibir mengerut. Kemudian Sydney segera melayangkan pandangannya pada klien maupun semua rekan kerja yang hadir di sana. "Ma-maafkan saya" ujarnya menunduk malu.
30 menit kemudian berlalu, akhirnya rapat selesai, semua klien dan beberapa rekan kerja sudah keluar dari ruang rapat melewati Sydney yang berdiri di dekat pintu sambil menunduk. Tampak sekali beberapa dari mereka sedang mengghibahi dirinya.
Dan saat semuanya sudah keluar. Kini yang tersisa hanya Sydney di sana, dan juga Mr. Stirling yang sengaja keluar ruang meeting terakhir untuk menegur Sydney. Dia menghampiri Sydney dan kini berdiri tepat di hadapan Sydney.
"Segera ke ruangan saya setelah ini" ujarnya dengan tegas. Meski suaranya tak meninggi, namun nada bicaranya jelas sekali terdengar menakutkan.
Sydney mengangguk pasrah. "Baik, pak" jawabnya masih menunduk tanpa memperlihatkan wajahnya.
Mr. Stirling hanya menatapnya kesal sambil menggelengkan kepalanya atas kelakuan Sydney yang memalukan hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale as Old as Time
RomanceAlexio Finneas, anak laki-laki dari keluarga konglomerat, pengusaha besar pemilik Findex Co. Dan ZurLex Group tengah memiliki dilemma karena pertunangan tiba-tiba yang diajukan oleh keluarganya dengan putri dari klien sang ibu. Tentu saja Alexio yan...