Tidur setelah shubuh itu enak. Tapi, tidak baik. Sejak tadi, gadis bernama lengkap Arasya Kayla itu menahan kantuknya. Ia ingin tidur, tapi sebentar lagi, pasti teriakan maut sang Ibu akan terdengar. Mari kita hitung sama-sama.
Satu.
Dua.
Tig---
"RA, CEPETAN BANGUN! JANGAN TIDUR LAGI, AWAS AJA KAMU YA, KALAU KETAHUAN TIDUR."
Mendengar itu Arasya tersenyum. Nah, benar, kan? Arasya melepas mukenanya,memakai hijab instan yang tergantung di sudut kamarnya, lalu berjalan keluar kamar menuju lantai bawah.
"Pagi, ibu," sapanya pada sang ibu dengan senyuman manis.
Wanita paruh baya yang sedang berkutat dengan alat-alat dapur itu mendengus.
"Kalau ibu nggak teriak, mungkin kamu tidur lagi selepas shubuh. Apa dulu di pondok kamu sering begitu?" tuding ibunya tiba-tiba.
Arasya yang sedang meneguk segelas teh, pun, terkejut. "Ibu, Ara nggak gitu, ya, waktu di pondok," ujarnya memberengut.
Rania---sang ibu tampak mengulas senyum.
"Bagus, kalo gitu. Pasti kamu disana selalu patuh sama aturannya, kan? Kalo nggak mana bisa kamu lulus dengan tenang begini," tutur Rania.
Arasya meneguk ludah mendengarnya. Dia? Taat pada aturan saat di pondok? Itu jelas, jelas sebuah kebohongan.
Arasya Kayla. Gadis itu baru saja lulus dari sebuah pesantren besar dikotanya---seminggu yang lalu. Arasya berhasil mendapatkan gelar hafidzah. Rania sangat bangga pada putri satu-satunya itu.
"Kenapa diem, Ra?" tanya Rania sembari meletakkan sepiring nasi goreng dimeja makan.
"Eumm?" Arasya hanya memasang senyum tertekannya.
Rania menggelengkan kepalanya pelan. "Ini, dimakan," titahnya pada sang putri.
Arasya mendadak semangat. Sudah hampir satu minggu ia memakan masakan rumah. Rasanya benar-benar enak. Kalau di pondok dulu, ia hanya bisa mencicipi masakan ibunya beberapa kali. Bisa terhitung dengan jari malah. Namun sekarang sudah berbeda, ia sudah kembali kerumah, maka dari itu setiap hari dia bisa merasakan betapa lezatnya masakan ibu nya.
Saat sedang mengunyah nasi goreng dengan asiknya, ibunya melayangkan pertanyaan yang membuatnya tersedak.
"Ra, kamu mau nikah?"
Uhuk!
Arasya tersedak. Rania tergopoh-gopoh memberikan segelas air yang langsung diterima oleh Arasya.
"Pelan-pelan," ujar Rania dengan tanggan mengelus pundak putrinya.
Arasya mengelap sudut bibirnya dengan tisu. Matanya mendelik ke arah sang Ibu.
"Maksud pertanyaan Ibu tadi apa, ya?" tanyanya tak suka.
"Yang mana?" Rania berpura-pura lupa.
"Nikah, nikah tadi maksudnya apa?!" tanya Arasya nyolot.
"Ibu, kan, cuma tanya, Ra. Kamu, ih, sensi banget."
Bibir Arasya mengerucut. Setelahnya,dia terdiam memikirkan pertanyaan Ibunya.
"Kalau Ara, sih, ya, Bu. Mau-mau aja sebenarnya," jawabnya yang langsung membuat Ibunya terbelak.
"Kamu serius, Ra?"
Tentu saja Arasya mengangguk. "Kan, kalo ada jodohnya maksud Ara, bu. Sekarang, emangnya Ara punya pasangan? Enggak, kan. Aneh ibu, mah."
Rania perlahan mengulas senyumnya. Tatapannya terhadap sang anak seperti menyiratkan sesuatu.
"Ibu kenapa?" tanya Arasya saat menyadari ibunya terdiam.
"Ibu nggak apa-apa. Cuma nggak nyangka aja, kamu yang dulunya makan harus disuapin sekarang udah bisa makan sendiri. Nggak tinggal dirumah selama tiga tahun lagi."
Arasya turut merasakan apa yang ibunya rasakan. Tiga tahun ia berada di pondok, selama itu jugalah ibunya tinggal dirumah besar ini sendirian. Arasya bisa membayangkan betapa sepinya saat dirinya tidak ada. Arasya bangkit memeluk ibunya begitu erat.
"Sekarang, kan, Ara udah disini. Ara bakal temenin ibu, janji juga ngga akan ninggalin ibu lagi," ucap Arasya dipelukan ibunya.
Rania tersenyum senang. Air matanya turun begitu saja. Rasanya benar-benar bahagia. Namun, saat mengingat sesuatu, senyum bahagianya berubah menjadi raut wajah sendu. Sembari memeluk putri satu-satunya itu, Rania membisikkan sesuatu.
"Ibu sayang Arasya."
***
Arasya itu hobi jalan-jalan, tapi pemalas. Maksudnya, niatnya saja yang besar tapi melakukannya malas. Tapi hari ini, ia memutuskan untuk jalan-jalan. Menghirup udara segar dengan bebas. Entah segar atau tidak, karena hari semakin siang, asap kendaraan sudah banyak bertebaran. Gamis berwarna biru dipadukan dengan hijab pasmina putih, semakin membuat dirinya terlihat cantik. Perpaduan yang cocok dan begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih.
Arasya memberhentikan mobil yang dikendarai oleh Ibunya di pinggir jalan. Gadis itu berniat membeli makanan dari pedagang kaki lima yang ia lihat. Dirinya bergabung bersama sekumpulan wanita yang tidak menutup aurat nya dengan benar, dalam hati dirinya terus beristighfar selama menunggu pesanannya dibuat.
Kala sudah selesai ia,langsung berjalan cepat menuju mobil. Ia menutup pintu mobil tersebut dengan nafas terengah-engah. Ditempat duduknya ia misuh-misuh tidak jelas. Rania sampai dibuat heran.
"Kamu kenapa, sih, Ra?" tanya Rania kemudian.
Arasya memegang dadanya. "Huh...nggak tenang aku, tuh, disana tadi bu," jawab Arasya sambil menunjuk tempat dimana ia membeli makanan tadi.
Rania menjalankan mobilnya sambil terus mendengarkan putrinya bercerita mengenai pemandangan yang ia lihat. Dalam hati, Rania begitu bersyukur. Ia berhasil mendidik putrinya.
"Apalagi yang rambutnya warna-warni tadi, hihh...kayak anak ayam," ujarnya. Namun, setelah sadar akan ucapannya ia lantas menutup mulutnya dengan tangan mungilnya. "Astaghfirullah! Ara nggak bermaksud ngomong gitu, ya allah," tuturnya takut.
Rania tertawa dan Arasya mencebik. Saat tawa sang Ibu mulai mereda, Arasya kembali bertanya. Pertanyaan yang membuat Rania bingung menjawabnya.
"Semalem, Ara nggak sengaja denger Ibu nelfon seseorang. Apa benar, ada orang yang datang melamar Arasya?"
Deg!
Rania terdiam seribu bahasa. Dirinya belum siap menyampaikan hal itu. Katakanlah bahwa dirinya egois tidak ingin menyampaikan hal sepenting itu. Rania menyayangi Arasya, baru sebentar waktu yang ia habiskan bersama putrinya. Namun malah ada seseorang yang mengatakan akan melamar putrinya.
"Ibu?" panggil Arasya.
"Iya, itu benar," jawab Rania cepat.
Arasya memalingkan wajahnya. Ia memilih untuk menatap ramainya kendaraan guna menutupi keterkejutan nya.
"Maafin ibu, ya, Ra baru bilang sama kamu. Ibu bingung sebenarnya," ujar Rania frustasi.
"Beberapa hari sebelum kepulangan kamu, ada keluarga yang datang kerumah. Mereka menyampaikan niat baik bahwa anak mereka ingin melamar kamu. Ibu belum bisa kasih jawaban, ibu hanya bilang mereka harus menunggu kamu pulang. Dan, mereka setuju. Tapi ibu yang ragu untuk ngasih tau kamu. Maafkan, ibu ya, Ra." Rania bercerita.
Detik itulah Arasya merasa kalut.
-Tbc
Dahlah,capek saya
Part kawin nya lagi proses ya temen-temen
Otw
Votmen nya jangan lupa
Spam next banyak" disini
Bbayyy
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Teen FictionYou, always you. -Akmal Afzanka Al-Ikhsan *** Tidak boleh ada yang meragukan perasaan seorang bocah berusia lima belas tahun.